Seharusnya Jared tahu ini.
Mata hitam pria itu terpaku kepada sebuah mobil tua yang bergerak keluar dari lapangan parkir blok apartemen itu.
Ia membuang napas kasar, berangsur putus asa atas dirinya sendiri. Ini bukan soal Rachel yang meninggalkannya begitu saja sementara ia membeli makanan untuk mereka. Ini soal pria itu yang seharusnya sadar bahwa istrinya adalah wanita yang memegang kata-katanya.
Dan tadi Rachel tidak mengatakan apa-apa.
Ketika tadi Jared berkata, tunggu di sini, Rachel hanya diam saja dan menatapinya, tidak mengiyakan dan tidak memberikan gestur persetujuan. Kini, ketika pria itu menenteng seplastik makanan, wanita itu pergi. Rachel Helena baru saja memberontak dari perintah suaminya dan dengan rapi wanita itu membuat hal itu bukan salahnya.
"Jared, kamu tahu tanggung jawab apa yang sedang kamu telantarkan di perusahaanmu?" Suara Peter Assad terdengar heran di ujung telepon yang baru saja diangkat putranya.
"Maafkan aku, Pa," ujar Jared kemudian berbelok ke tempat di mana mobilnya diparkir. "Aku akan segera ke sana."
"Apa yang terjadi sehingga kamu melakukan ini?"
"Aku akan menceritakannya nanti." Dengan satu tangannya, Jared menyalakan mesin kemudian melirik jam tangannya. Ia sudah terlambat hampir selama 1 jam untuk hadir ke pertemuan mahapenting di perusahaannya. "Aku akan tiba setengah jam lagi."
"Tidak perlu. Wakilmu sudah ada di sana." Peter mendesah berat. "Papa betul-betul kecewa, Jared. Papa ada di rumah. Datanglah, kita perlu membicarakan ini."
Tanpa perintah itu pun, Jared akan mengarahkan mobilnya ke rumah ayahnya. Ia meminta maaf sekali lagi dan memutus telepon, bukan karena ia tidak ingin ayahnya merecokinya dengan amarah dan energi negatif, tetapi karena ia membutuhkan keheningan itu.
Perjalanan di jam tanggung itu berlangsung cepat. Keheningan yang dialami Jared di perjalanan belum cukup membantunya mencapai sebuah kesimpulan, tetapi ia tahu suara hatinya, dan, menerobos keraguan dan kegentaran yang bercokol di kepalanya, Jared tahu apa yang harus ia lakukan.
Mobil itu diparkir dengan rapi di depan kediaman ayahnya. Jared turun dari dalam sana, menapaki rerumputan yang kekeringan di siang bolong, yang entah bagaimana mengingatkannya kepada buku-buku di lantai unit istrinya, juga cicitan ayam, juga bagaimana semua suara, semua objek, dan semua roh di ruangan itu menjadi kabur sementara air mata Rachel menjadi satu-satunya yang nyata, yang membedakan dunia ini dari dunia orang mati.
Tangan pria itu terkepal kuat. Siapa yang dapat membuat putra tunggal Assad membenci dirinya sendiri lebih daripada Rachel Helena?
"Hai, Pa," sapa Jared kering kepada ayahnya yang terlihat menangguk samar.
"Masuklah." Peter kemudian membiarkan pintu itu tetap terbuka sementara ia duduk di ruang tamu. "Apa itu?" tanynya, merujuk kepada sekantung plastik yang putranya letakkan di meja di depannya.
"Nasi."
"Karena itu kamu terlambat?"
"Sekitar lima menit dari keterlambatanku karena itu."
"Di dalam lima menit itu atau bahkan satu jam di dalam keterlambatan tidak bertanggung jawabmu itu, tidak ada, kah, beberapa detik yang kosong untuk kamu setidaknya memberi kabar bahwa kamu tidak bisa hadir?"
Jared menatap ayahnya dengan letih. Pertanyaan retorik itu berhasil membuatnya merenung bahwa, bahkan setelah semuanya, Jared tidak menyesal atas semua yang ia lakukan. Ini semua mirip kisah cinta anak SMA yang tidak realistis, tetapi bahkan tidak akan ada anak SMA yang akan dengan sadar berkata, "Aku akan mengundurkan diri dari Karitaas Karya."
Peter tidak tahu ke mana pembicaraan ini mengarah. Ia tidak bisa menebaknya, tetapi satu hal yang ia tahu: tiba-tiba saja mantan istrinya seolah hadir dan mendiami putra mereka. Jared Assad memiliki keteguhan itu di suaranya, keteguhan khas yang tak tergoyahkan sebelum ia mengambil keputusan besar, keteguhan yang dulu ada pada Diane Taasatijana ketika ia memutuskan selesai.
"Kamu tahu apa yang kamu katakan?" tanyanya, meskipun larangan atau basa-basi atau sesi apa pun juga tidak akan mempan ketika dengan putra dari Diane Taasatijana ia berhadapan.
Jared tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia memberikan waktu bagi ayahnya untuk berproses.
"Papa tidak masalah soal kamu yang ingin keluar. Jika ini masih soal semalam, soal pernikahanmu dan soal istrimu, Papa bahkan akan mendukungmu. Tapi ini soal nasib satu organisasi penuh, Jared. Kita tidak sendirian. Papa tidak mau bersikap begitu sekuler dengan mengutamakan reputasi Perusahaan, tapi ribuan jiwa dan anak-anak mereka bergantung kepada Perusahaan. Ini juga ladang yang sudah Tuhan percayakan untuk kita."
Pembahasan soal itu sudah Jared miliki sendiri di dalam keheningan di mobilnya tadi. Ia berpikir soal reputasi dan kredibilitas Perusahaan, apa implikasinya, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan ia memang sudah menenemukan solusi atas pergumulan itu, bahwa tidak ada solusi sama sekali. Harus ada pengorbanan.
"Nenek dari istriku meninggal kemarin, Pa," Jared mulai menjelaskan maksudnya, atau mungkin menuangkan isi hatinya, kepada ayahnya yang setia. "Bagian terburuknya adalah aku tidak mengetahui itu. Bahkan mungkin tidak pernah terpikir oleh Rachel untuk memberi tahu hal seperti itu kepada aku jika aku tidak muncul di unitnya tadi pagi. Dan kini dia pergi. Lagi-lagi, aku tidak tahu apa-apa soal itu, soal ke mana dia dan apa yang berusaha dia lakukan. Aku memang baru di dalam pernikahan, tapi aku tahu bahwa bukan seperti itu seharusnya sepasang suami-istri hidup, karena bukan begitu Tuhan merancangnya. Dan karena aku mencintainya."
Karitaas Karya tidak pernah menjadi mudah untuk dilepaskan. Harga yang dibayar sungguh besar, secara organisasional dan secara personal. Pertentangan rasional dari dalam diri pria itu muncul, dan itu sungguh dapat dibenarkan.
"Aku ingin mencintainya dengan benar," bantah Jared kepada suara di dalam dirinya sendiri, "sehingga dia merasa aman, sehingga dia tahu bahwa aku tidak takut dengan kekosongan yang ada di dalamnya karena aku juga pernah memiliki kekosongan yang sama. Aku ingin dia berduka, karena aku pernah menyangkali duka juga, dan kita tahu ke mana itu membawa aku."
"Jared—"
"Bukannya Papa mengatakan dulu bahwa aku akan memahami kerusakan pernikahan Papa ketika aku sudah menikah?" Jared menatap ayahnya intens. "Ini aku, Pa, sudah menikah, sudah memahami pengorbanan itu, dan sedang melakukan pengorbanan yang sama. Jadi biarkan aku mengorbankan Perusahaan sebagaimana Papa mengorbankan Mama demi Tante Magdalene."
Peter terpekur lama. Jadi ini padanannya. Mungkin, ini adalah sesuatu yang harus diputus di garisnya atau apa. Sebagaimana ia berkorban demi Magdalene, seperti itu pula Jared berkorban demi Rachel. Lagi-lagi, pengorbanannya besar. Dan lagi-lagi, tidak ada pilihan. Namun, bukankah itu esensi dari pengorbanan—tidak ada pilihan? Seseorang akan sakit. Seseorang akan mati.
Dan Peter berbangga bahwa putranya memilih untuk mati. Jared tidak menyisakan apa-apa. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi dunia, meninggalkan semua yang mulia, dan memilih mati demi bersama-sama dengan manusia di surga nanti, seperti itulah putranya saat ini.
Rachel bisa mengatakan ia tidak merasa dicintai, tetapi Rachel, berdasarkan standar dan hukum dan ukuran yang berlaku di bumi dan di surga, tidak bisa mengatakan bahwa Jared tidak mencintainya.
Peter mengangguk mantap. "Kalau begitu, pikullah salibmu dengan setia, Jared. Menangkan istrimu."
Tidak pernah Jared menciut di dalam sebuah perlombaan. Berapa kompetisi yang sudah dia menangkan? Berapa wanita? Berapa anak tangga sosial yang telah ia panjat sehingga ia kini mengatasi segala puncak?
Tapi, menangkan istrinya?
"Tolong doakan aku, Pa," mohon anak itu gentar. "Aku tidak bisa melakukan ini sendiri."
"Dan begitulah kamu memenangkannya, Nak."
OOO
24/09/22
KAMU SEDANG MEMBACA
She who Keeps both Heaven and Hell Occupied
RomanceRachel Helena memiliki misi untuk menjadi kekecewaan terbesar bagi ayahnya. Karena perselingkuhan ayahnya dengan pembantu mereka, ibu dari Rachel meninggal bunuh diri. Di hari yang sama, selingkuhan pria itu juga mati. Alhasil, Rachel mengubur ibuny...