dua

485 70 6
                                    

Deru mobil tua wanita itu terdengar pelan ketika ia menyetir menjauh dari bar yang menjadi langganannya. Ia membayar pengawal yang ia sewa lepasan untuk mengawasinya ketika mabuk, kemudian membelah jalanan yang masih lowong dengan kecepatan tinggi.

Jaket kulit Rachel sudah tanggal, terlipat di jok penumpang di sampingnya. Angin sejuk pagi hari membelai kulitnya dengan lembut. Hawa dinginnya membuatnya sedikit menggigil. Tetapi kenyataan bahwa pria yang tidak ia ketahui itu mengetahui semua tentangnya memberikan efek yang lebih kuat dari angin pagi itu.

Saya mohon maaf untuk yang tadi.

Permintaan maaf dari rekan Arya Salbatier itu adalah tanda bahwa ia adalah seseorang bagi Rachel. Pria itu bukan bagian dari dunia yang selalu ia kecualikan. Karena, jika ia adalah orang biasa, maka seharusnya yang ia sadari adalah bahwa semua perkataannya mengandung kebenaran dan itu saja. Ia tidak seharusnya sadar bahwa perkataannya mengandung kebenaran dan kebenaran itu dapat menyakitinya.

Pemikiran bahwa orang asing dapat mengindera kelemahannya membuat langkah Rachel menjadi sedikit terlalu cepat ketika ia menaiki tangga menuju unitnya. Tanpa sadar, pundaknya yang tegang sedikit menghimpit tubuhnya, seolah dengan begitu ia bisa melindungi diri. Gaunnya semalam masih menempel pada tubuhnya, tidak seperti hak tingginya yang sudah tanggal dan ia tenteng. Kakinya tidak hanya kotor, mereka juga nyeri. Tetapi yang membuat Rachel berhenti beberapa langkah di depan unitnya adalah kehadiran seseorang di sana, di dalam setelan sederhana khasnya.

Untuk beberapa lama, mereka hanya bersitatap. Reagan memperhatikan anak perempuannya yang berantakan, sementara Rachel mengalami sesuatu. Saat-saat seperti itu mengingatkan Rachel mengapa ia masih minum. 

Reagan hampir tidak pernah mengunjungi putrinya. Ini yang kedua kalinya ia menapakkan kaki di unit putrinya setelah yang pertama dilakukan enam tahun lalu. Saat itu, Rachel memilih untuk lepas dari ayahnya dan semua yang terkait dengannya, tepat setelah mendapat gelar dokter dan izin praktik. Kunjungan kala itu dilakukan Reagan sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab yang merasa harus memastikan bahwa kehidupan baru putrinya aman dan kondusif. Selain dari itu, dosen sekaligus kepala rumah sakit yang sibuk itu tidak pernah datang lagi. Ia mengecek putrinya lewat panggilan telepon dan pesan singkat. Pertemuan mereka selalu terjadi secara kebetulan di acara-acara yang mengundang keduanya sendiri-sendiri. Pertemuan mereka tidak pernah disengaja seperti ini.

Rachel tidak ingat ayahnya pernah sudi menemuinya yang tidak lagi bisa diperbaiki.

"Papa ingin bicara," buka Reagan, suaranya tenang. 

Rachel berjalan mendekat, karena jarak yang terbentang jauh di antara mereka akan menciptakan gaung yang kuat. "Aku mendengarkan."

"Di dalam."

"Tidak."

Reagan Tirtajana menatap putrinya yang sudah berada di depannya. Tingginya hampir menyamainya. Hal itu baru disadarinya karena ini yang pertama mereka berdiri sedekat itu. Suaranya menjadi berat, "Apartemen ini tidak kompatibel untuk kehidupanmu sehari-hari. Papa akan berikan yang lebih baik."

Tidak ada otot yang membentuk ekspresi penolakan, hanya bibir tipis Rachel yang bergerak kecil ketika ia menentang tegas, "Aku tidak menginginkan yang bukan properti aku."

"Oke," kata pria itu, tahu betul putrinya akan menolak, "Papa sudah mengajukan keluhan kepada Pengembang dan mereka berjanji lift yang rusak ini adalah yang terakhir kali."

Rachel tidak merespons.

"Papa harus menghadiri rapat anggota dewan. Bisa kita bicara di dalam, Rachel?"

"Tidak."

"Papa tidak merestui hubungan kamu dengan pria itu."

Raut wajah wanita itu tetap stabil. Dalam hatinya, Rachel mengait-ngaitkan maksud dari ucapan ayahnya kepada sesuatu yang rasional, dan intelegensinya dengan cepat menyadari bahwa ayahnya salah paham soal interaksi yang terjadi di antaranya dan rekan Arya Salbatier semalam.

Reagan tidak pernah melarang putrinya melakukan apa-apa, karena Rachel tidak mau dilarang dan karena, di antara keduanya, mereka sama-sama tahu bahwa tidak pernah ada kewenangan yang sejati untuk pria itu melarang setelah apa yang ia lakukan kepada rumah tangganya.

Tapi untuk satu hal itu saja, Reagan dengan keras menelan ego dan rasa malunya. Ia melarang.

Keheningan di lorong mencekam siapa saja yang terlibat di dalamnya. Semuanya seolah membeku dan berhenti bergerak. Hanya terdengar kicauan burung dari luar apartemen, yang merambat masuk dan menjadi instrumen pengiring yang rancu. Rachel tetap pada pendiriannya untuk diam, dan keterdiaman semacam itu membuat ayahnya gemas.

"Cari yang lain, Rachel," perintahnya tegas.

"Yang seperti apa?"

Reagan tahu putrinya baru saja menyindirnya keras dan menyudutkannya. Tapi ia tidak peduli karena ia harus menyelamatkan anaknya. "Siapa saja asal jangan dia."

Terlalu banyak ironi dalam hari yang masih terlalu pagi. Rachel membenci ayahnya yang berpikir atribut seorang pemimpin masih cocok baginya. Wanita itu merasa seekor ular seolah sedang menggerayanginya. Penguasaan dirinya besar sehingga ia tidak menggelinjang jijik dan muntah-muntah.

Kebisuan Rachel membuat Reagan menarik nafas dalam. Rachel bisa melihat ayahnya putus asa atasnya. Sejak dulu, ia selalu berada di luar kapasitas ayahnya, sehingga Rachel kecil diletakkan di panti asuhan, sehingga ia tumbuh besar sebagai seorang peminum dan ayahnya mendiamkannya karena tidak ada yang bisa pria itu lakukan soal itu.

"Kenapa Jared Assad?"

Akhirnya wanita itu mendapatkan namanya. Ia menyimpannya dalam hati. "Kenapa tidak?"

"Dengarkan Papa, Rachel." Reagan menatap putrinya lurus-lurus, seolah anaknya itu baru saja pulang dengan kabar bahwa ia akan mewakili sekolah dalam sebuah olimpiade, dan pria itu memetakan strateginya agar ia menang, "Papa bukan pria yang baik. Itu benar dan Papa mengakuinya. Tapi pria itu bukan yang baik juga untuk kamu. Dia akan merusak kamu terlepas dari semua cinta dan kasih sayang yang akan pernah dia klaim dia miliki untuk kamu."

Tatapan datar Rachel menyambut semua larangan dan kelancangan ironis ayahnya dengan lesu, selesu daun yang gugur, yang tergulung, yang mengikuti tiupan angin dengan tidak peduli. "Terserah."

Reagan mengepalkan tangannya. Tatapan matanya menajam, menusuk masuk ke dalam mata putrinya yang tidak memancarkan apa-apa, sepasang hitam yang berani, yang cantik, yang dulu bisa ia nikmati sesuka hatinya di dalam seorang wanita yang kemudian membawa keindahan semacam itu pergi kepada kekekalan bersama dengan kematiannya.

"Papa harus pergi." Reagan menyerahkan sebuah kantung yang ia genggam di tangannya sedari tadi. "Makan ini. Berhenti minum."

"Aku tidak makan apa yang bukan milik aku."

Putrinya begitu pahit. Retorikanya mematikan. Ia selalu sinis. Sindirannya hanya mampu dimengerti oleh mereka yang ia tuju.

Reagan menggantung plastik itu di kenop pintu unit apartemen putrinya. "Papa pergi. Jaga diri kamu baik-baik."

Kemudian, punggung pria kurus itu menjauh. Langkahnya yang pelan mengingatkan Rachel soal usianya yang tidak lagi muda. Pria itu berbelok di pintu menuju tangga. Jantung dari pria tua itu tidak lagi prima, beberapa kali bermasalah, dan 4 lantai bukannya tidak mematikan.

Cengkeraman Rachel pada hak tingginya menguat. Tatapannya terpaku pada pintu yang di baliknya ayahnya menghilang. Ia membenci dirinya sendiri karena, setelah semua yang ayahnya lakukan kepadanya dan ibunya, perasaan bersalah itu masih terasa, kental dan kekal, bahwa ia seharusnya menerima pemberian ayahnya tadi.

OOO

09/04/22

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang