tiga puluh tujuh (i)

218 20 2
                                    

"Sejujur-jujurnya, apa yang ingin Anda katakan kepada ayah Anda?"

Rachel saat itu dua puluh lima tahun. Ia duduk di depan psikolognya di ruangan yang sempit dan kursi keras yang berlengan. Tatapannya terpaku pada sebuah titik yang catnya terkelupas. Itu adalah pertanyaan yang ia tunggu-tunggu sejak sangat lama.

Psikolog itu menunggu. Lama sekali. Ia sudah cukup tahu sejarah anak ini, mereka sudah bertemu beberapa kali. Dengan seluruh latar belakang Rachel, psikolog itu pikir ia akan melihat air mata atau gertakan gigi. Nyatanya, hanya ada tatapan kosong dan napas yang tenang.

"Ini berat bagi Anda, Rachel?" tanya psikolog itu.

Rachel mengalihkan tatapannya dari tembok kepada psikolog itu. "Ini berat bagi Anda."

Psikolog itu tersentak, tetapi ia tidak menunjukkannya. "Kenapa Anda berpikir demikian?"

"Karena Anda akan menyadari bahwa seluruh karier Anda sia-sia, bahwa Anda seharusnya tidak pernah duduk di kursi itu dan berpura-pura mampu menolong saya."

"Apakah Anda merasa saya tidak mampu menolong Anda atau Anda tidak mampu ditolong?" Tidak ada ketersinggungan di dalam pertanyaan itu. Psikolog itu justru ingin mengungkap blok kognitif yang menyumbat progres mereka. Ia bersiap untuk mencatat lagi.

Tatapan Rachel kembali kepada titik itu. Tangannya terlipat di depan dada, memeluk jaket kulitnya, dan ia berkata pelan, "Ada sebuah doktrin di dalam Kekristenan," kemudian ia meralatnya, "Sebuah kebenaran, bahwa seseorang tidak memilih Kristus, tetapi Roh Kudus menghampirinya dan membawanya kepada Kristus. Saya ingin berkata, Papa tidak seharusnya mengenal Kristus. Papa tidak seharusnya memiliki hidup kekal, sementara Mama tidak tahu ada di mana. Namun, kemudian ucapan ini keliru. Papa tidak memilih untuk mengenal Kristus. Ia dipilih.

"Dan Sosok yang memilihnya adalah Tuhan sendiri, Pribadi dengan hikmat tertinggi yang telah melihat jauh sebelum dunia ini diciptakan bahwa salah satu pria pilihan-Nya akan membuat istrinya mati bunuh diri, dan Ia tetap memilihnya. Bagian terburuknya adalah bahwa saya juga dipilih untuk mengasihi Sosok itu. Dan kasih sebesar ini tidak bisa saya sangkal."

Psikolog itu terdiam ketika Rachel menatapnya balik. Ia tidak pernah mulai menulis.

"Bagaimana Anda dapat menolong saya dari sebuah manipulasi pada tingkat ini?"

Dan begitulah Rachel dirujuk ke psikolog lain.

Aku sudah tiba di rumah.

Pesan itu terkirim.

Rachel membiarkan ponselnya tergeletak di sampingnya. Ia menyesap anggurnya lagi sambil duduk terhipnotis di depan layar televisi yang menyala. Jam sudah menunjukkan pukul 23.

Sudah berjam-jam lewat sejak pertunangan yang batal di tebing sore itu. Hari yang panjang. Hari yang menguras. Hari yang membuatnya minum dan mengingat apa yang akan dikatakannya jika pertanyaan apa yang ingin kamu katakan kepada ayah kamu muncul lebih awal.

Jika saja pertanyaan itu datang kebih awal, misalnya satu hari, satu tahun, atau beberapa tahun setelah kematian ibunya, Rachel mungkin akan masih bersama psikolog itu karena ia akan dapat menjawab pertanyaan itu. Ia pasti dapat menjawabnya karena, pada saat itu, ia belum bisa minum.

Setelah ia bisa minum, pertanyaan yang relevan adalah apa yang ingin kamu katakan kepada Bapa? Sudah tidak ada lagi yang bisa Rachel katakan kepada ayahnya, bukan karena ia tidak mau, tetapi karena sungguhan sudah tidak ada, sudah tercampur dengan anggurnya, dan tercerai-berai dalam ukuran atomik sehingga mustahil untuk disusun atau bahkan diingat. Saat Rachel menyadari ini, ia pergi kepada seorang pendeta. Setelah pendeta, perjalanan Rachel untuk sembuh berhenti.

Sekarang, setelah gulungan duka yang tak habis-habisnya, setelah serangkaian kematian, kehilangan, dan kesendirian, pertanyaan yang tersisa adalah apakah kamu masih ingin memanggil Tuhanmu Bapa?

Rachel adalah anak perempuan yang membela figur seorang ayah. Jika bukan karena itu, karena apa lagi ia menyimpan sendiri kenyataan bahwa Vanesha Tirana adalah anak haram ayahnya? Jika bukan karena itu, karena apa lagi ia melindungi karier ayahnya dan menjaga muka pria itu? Benar bahwa Rachel Helena berperingai kurang ajar dan kurang santun kepada ayahnya sedemikian hingga namanya semerbak karena kelakuan begitu, tetapi, toh, ia menjaga pria itu. Dan karena itu pula, Rachel akan mengatakan, ya, aku akan selalu memanggil Tuhanku Bapa, Ia adalah Bapa yang sangat baik.

Semua ini hanya meneguhkan kenyataan bahwa Rachel memang termanipulasi di dalam kasihnya kepada ayahnya dan Bapanya.

Wanita tiga puluh dua tahun itu menunduk saat melihat layar ponselnya menyala di sampingnya.

Balasan kepada pesannya cukup panjang. Rachel berpikir sebentar, soal apakah dia melakukan sesuatu dengan salah. Kemudian dia menyadari bahwa dia tidak, karena suaminya hanya memintanya untuk mengabarinya setiap kali dia tiba di apartemennya atau di mana saja dia tidur.

Layar ponselnya kemudian menampilkan sebuah panggilan.

"Ada apa?" tanya wanita itu singkat.

"Bersiap, Rachel. Aku akan menjemput kamu." Suara Jared Assad begitu tegas, dan di sana Rachel membenci pernikahannya karena semua persyaratan yang telah ia setujui.

Rachel hanya ingin minum. Ia tidak ingin keluar dari apartemen, atau bahkan sofa itu. Ia tidak mau bertemu suamiya, atau bahkan mengangkat teleponnya.

"Ada perlu apa?" tanyanya setelah cukup lama terdiam untuk menenggak alkoholnya lagi.

"Kita akan berbicara."

"Aku mendengarkan."

"Kita akan berbicara panjang," tandas Jared.

Mata tajam wanita itu dengan runcing melubangi layar televisi di bawah kegelapan yang menyelimutinya. Ruangan itu menyesakkan. Aroma alkohol minggu lalu masih berputar-putar di sana, juga alkohol dua hari lalu sebelum percakapan bersama Vanesha dilakukan. Juga aroma muntahannya. Semua itu menempel di tembok dan tidak bisa dihilangkan.

"Aku ada ujian besok," bantah Rachel tenang.

Jared Assad menutup perdebatan dengan istrinya, "Aku sudah di bawah, Rachel Assad. Tunggu aku di sana."

Mendengar nama itu, Rachel mencengkeram gelasnya. "Aku turun."

Telepon kemudian berakhir.

Rachel menenggak satu gelas lagi, berdiam sebentar lagi sebelum mematikan televisi dan berjalan dalam kegelapan total.

Dengan tangan kanannya, ia mengambil jaket kulit hitamnya dari gantungan di balik pintu, melapisi gaunnya dengan itu, dan keluar dari sana.

***

20/05/23

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang