empat puluh satu

226 25 3
                                    

Siapa yang aib bagi Kekristenan, Rachel?

Pertanyaan itu menghantui Rachel di detik pertama ia mengarahkannya pada Vanesha, dan lebih kuat lagi menguasainya ketika kabar kehamilan Vanesha terkuak. Dan setiap pertanyaan itu muncul, Rachel selalu tahu jawabannya: Rachel Helena adalah aib bagi Kekristenan.

Aib bagi Kekristenan bukanlah anak haram, ibunya yang sundal, atau ayahnya yang najis. Aib bagi Kekristenan adalah orang yang diampuni yang tidak mau mengampuni: anak perempuan pemabuk dan sinis yang sudah diampuni tetapi tidak mau mengampuni. Benar bahwa anak itu kehilangan ibunya, juga orang-orang dan ayam-ayam, serta semua masa kecilnya, masa remajanya, dan seluruhnya. Tapi utang anak itu kepada Sang Raja sudah dihapus, kenapa ia masih mengungkit utang orang-orang kepadanya?

Andai saja mengampuni itu hanya soal utang, itu akan menjadi mudah. Rachel pikir, tidak pas bahwa Yesus mengibaratkan duka dengan utang. Jika Rachel bisa, ia ingin datang ke altar Bapa Surgawi, dan menguji-Nya, apakah Ia sudi mengistilahkan duka atas kematian anak-Nya di kayu salib dengan utang. Ia tidak akan sudi, karena duka-Nya tidak serendah itu. Bagaimana pun juga, ini hanya soal semantik. Intinya, Bapa berduka besar-besaran, tetapi tetap mengampuni Rachel yang sudah menyalibkan Sang Anak.

Tidak seperti Rachel.

Anak perempuan itu hanya berbaring di tempat tidurnya. Selama tiga hari itu, hanya tiduran yang ia lakukan, karena ia tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Sebentar lagi peperangannya akan dimenangkan olehnya. Kehidupan Vanesha sudah runyam, begitu juga ayahnya yang semakin terpukul.

Kemenangan ini akan menjadi mutlak atas seluruh musuhnya, sesuatu yang Rachel berusaha capai sejak dulu, yang gagal ia raih di dalam sekolah kedokteran, yang gagal lebih payah lagi di hari ia menikah.

Tapi bukankah Vanesha juga adalah korban, Rachel? bisik hati Rachel selama tiga hari itu.

Terkait dengan Vanesha, terdapat tiga poin pengetahuan yang Rachel benci.

Pertama, Rachel tahu Vanesha bukan anak haram. Bagi Rachel, istilah anak haram adalah strategi rendahan yang dibuat oleh para pendosa untuk melimpahkan dosa mereka pada seorang anak dan bukannya pada Sang Anak. Ia tidak bisa membenci anak haram karena anak haram itu tidak ada.

Kedua, ia tahu bahwa Vanesha juga korban karena anak itu hidup di keluarga yang tidak kalah rusak. Ia menanggung kepahitan yang gila kepada pria yang ia sebut ayah, padahal pria itu bukan ayahnya. Konsep seorang ayah dirusak oleh pria yang bukan siapa-siapa baginya. Dan Vanesha menyaksikan kematian ibunya dengan cara yang gila. Jika Vanesha hanya seorang anak orang asing di hidup Rachel, Rachel akan menjadi pembela nomor satunya.

Dan di atas segalanya, Rachel tahu bahwa Vanesha hanya menerima semua kasih sayang yang berhak ia dapatkan dari Reagan, ayah kandungnya. Bukankah berusaha mengampuni seorang anak hanya karena anak itu menerima pemenuhan hak-haknya merupakan tindakan kaum intelek kelas paling bawah? Benar bahwa hak Rachel tidak dipuaskan, tapi menyalahkan seorang anak yang haknya terpenuhi bukan merupakan solusi yang dapat diterima, oleh Bapa dan bahkan oleh Rachel sendiri, meskipun pada kenyataannya Rachel menekan Vanesha terus-terusan.

Pada akhirnya, Rachel tahu bahwa seluruh kepahitannya seharusnya dilimpahkan pada ayahnya. Benar, sampai akhirnya anak itu sadar, ia tidak bisa.

Saat itu pukul enam pagi. Rachel tidak bisa tidur benar. Enam jam terakhir terasa seperti penyiksaan besar baginya. Akhirnya, wanita yang keletihan itu menarik dirinya ke ujung kasur, menempelkan punggungnya pada besi kasurnya yang dingin. Ia menatap ke jarak kosong di depannya dengan kepalanya yang pening dan terkulai miring. Air matanya menetes dari ujung matanya, dan mulai menyusuri pipinya hingga ke leher. Hatinya berbicara kepada Tuhan, kira-kira begini:

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang