Tidak seperti apartemen-apartemen di ibukota, apartemen itu kumuh.
Catnya mengelupas dan Pengembang tidak memiliki anggaran untuk mengecat ulang. Sejak awal, pilihan warna catnya juga tidak elit. Mereka memilih oranye muda. Karena tua dan karena sering terkena air hujan, oranyenya menjadi putus asa dan berubah putih. Hal yang paling menarik dari apartemen itu adalah ia murah.
Rachel memarkirkan mobilnya di bloknya. Ia turun dari dalam mobilnya yang belum diservis sejak sangat lama dan karenanya tidak memiliki pendingin ruangan atau, bahkan, kemampuan untuk menyala tanpa menjadi berisik.
Melewati resepsionis yang kosong, wanita itu melangkah menuju lift. Sebuah pemberitahuan tertempel di pintunya. Alat itu rusak lagi, sudah yang ketiga kali dalam bulan itu. Dengan ransel lusuh yang berat di pundaknya, wanita itu menempuh tangga hingga ke lantai empat.
Keringat membuat kemeja hitam wanita itu basah dan menempel di tubuhnya. Rachel segera melepaskan jaket kulit hitamnya dan menggantungnya di balik pintu sesampainya ia di dalam apartemennya yang pengap. Sama seperti unit-unit lain, unit wanita itu memiliki pencahayaan dan siruklasi udara yang buruk. Airnya sering mati dan penghuni sudah lelah komplain.
Wanita tiga puluh tahun itu meletakkan ranselnya di sofa. Terdengar bunyi berdebam cukup keras karena buku-buku di dalam tasnya membentur kayu sofa yang sudah menonjol.
Pukul 19. Perutnya belum terisi. Baru ia sadari ia tidak memiliki makanan. Dan ia tidak memiliki anggur. Ketika ia sedang memilih untuk menghabiskan sisa uangnya untuk salah satu dari keduanya, secarik kertas yang terletak di bawah secangkir kopi yang tidak tandas masuk ke dalam penglihatannya.
Rachel menarik kertas itu. Sebuah amplop, tadinya berwarna gading sebelum ia ternoda dan menjadi kecokelatan.
Undangan dari Salbatier Holdings. Perusahaan itu berulang tahun yang ke-20. Rachel bukan hanya tidak peduli, ia juga tidak relevan. Undangan itu ditujukan kepadanya hanya karena petinggi perusahaan itu adalah sahabatnya. Selain itu, tidak ada hubungan antara ia dan institusi itu. Yang ada hanya ayahnya yang menjadi kepala di salah satu anak perusahaannya, Anastasis Hospital.
Mata hitam pekat Rachel bergulir ke bagian bawah dari surat itu. Pukul 18 acaranya dimulai. Ia sudah terlambat 1 jam.
Wanita yang seharian menghabiskan waktunya di bursa buku bekas itu bangkit dan segera bersiap. Ia akan hadir meskipun ia tidak mau, demi Arya Salbatier, sahabat masa kecilnya, cinta pertamanya, semua yang ia impikan dan pernah doakan dengan semua sisa keberanian dan kerentanannya, semua yang tidak akan pernah bisa ia miliki.
Tiga jam kemudian, wanita itu sudah sampai di sana. Kesengajaan untuk menjadi sangat terlambat itu sia-sia. Acaranya belum selesai. Lapangan parkir gedung megah itu masih penuh. Butuh beberapa puluh menit hingga ia berhasil memarkir mobil usangnya. Kaki jenjangnya yang beralaskan hak tinggi keluar dari sana. Angin berembus kencang di lapangan parkir paling atas itu, menerpa wajah cantik Rachel yang tidak terpoles apa-apa.
Lekuk tubuhnya yang proporsional dibalut satu-satunya gaun yang ia miliki. Gaun beludru lembut berwarna hitam dengan belahan dada berpotongan persegi dan sepasang tali tipis yang menggantung di pundaknya. Gaun menawan itu memiliki celah di sisi kiri bawah yang memanjang sampai ke paha, memamerkan tungkainya yang jenjang. Tubuh ramping Rachel Helena menjadi sangat menggairahkan, tetapi Rachel tidak melepaskan jaket kulit hitamnya.
Ada sebuah ruangan cukup besar dan sudah didekorasi di samping ballroom. Di ruangan yang sepi itu, sofa-sofa bertebaran. Rachel memilih sebuah yang menghadap ke arah depan, yang darinya ia dapat melihat apa atau siapa yang sedang terjadi. Kemudian ia membaca sebuah buku yang ia bawa.
"Rachel Tirtajana."
Suara rendah itu berasal dari serong kanannya, dua sofa lebih jauh darinya. Rachel menoleh. Seorang pria dalam setelan yang sama formalnya dengannya, tetapi pria itu tidak pucat. Sorot mata pria itu tegas, dan Rachel menyainginya meskipun sorotnya datar. Belum apa-apa, Rachel Helena sudah membenci pria itu.
"Anda sangat dinantikan di dalam."
Rachel tidak mengenal pria itu. Suara datarnya menegaskan perseteruan ketika bertanya, "Siapa Anda?"
Itu adalah pertanyaan pertama yang seorang Rachel Helena lontarkan sejak sedikit terlalu lama. Terlepas dari tuntutan profesi, ia tidak pernah bertanya.
Rachel tidak menyadarinya, tapi bertanya berarti menjadi rentan. Ada kebersediaan untuk menerima jawaban yang tidak terbatas cakupannya, dan dengan demikian, tidak terbatas kemungkinannya untuk menyakiti, menghibur, membebat, melukai, atau apa saja. Melalui pertanyaan, seseorang memberikan bagian dari dirinya yang belum dia kuasai, dan kepada siapa bagian itu diserahkan, kepadanya diberikan kuasa untuk menempati—merusak atau membangun.
Orang yang kepadanya Rachel memberikan kuasa itu adalah seorang asing. Seorang pria, bahkan. Ia tidak pernah mengenal pria itu ataupun melihatnya. Tetapi, toh, kepadanya ia bertanya, kepadanya ia merelakan sedikit kuasa atas dirinya, karena tidak pernah ada yang tidak ia ketahui identitasnya yang pernah menyebut nama lengkapnya.
"Saya rekan dari Arya Salbatier. Ia sudah menunggu Anda di dalam bersama calon tunangannya, Vanesha Tirana, dan ayah Anda, Reagan Abraham Tirtajana."
Rachel terdiam atas jawaban lengkap itu. Perkataan dari pria itu mengingatkannya kenapa ia minum, kenapa ia minum dan tidak bisa berhenti, dan kenapa ia ingin minum saat itu juga. Wanita itu kembali kepada bukunya dan membaca. "Oke. Terima kasih."
Rekan dari Arya Salbatier itu berfokus pada ponselnya sebelum berderap keluar dari sana, melalui pintu yang berada di sebelah kiri Rachel, menuju skywalk.
Sementara itu, paragraf demi paragraf dilalui Rachel. Pria asing itu telah menyebutkan namanya. Pria itu telah menyodorkan kepadanya terang-terangan semuanya, bahwa ia tidak bisa menikahi sahabatnya, bahwa sahabatnya akan menikahi adik tirinya yang karenanya ibunya bunuh diri, karena seorang pria yang tidak memiliki penguasaan diri telah berselingkuh dan memiliki anak itu. Dan pria itu adalah ayahnya. Dan nama pria itu tersemat pada namanya.
Perlahan, Rachel menutup bukunya. Ia mengeratkan jaket kulitnya dan duduk begitu saja memandangi jarak kosong di depannya. Dadanya bergemuruh, menimbulkan reaksi yang membuatnya mual dan pusing. Sekeras mungkin wanita itu menyangkali reaksi itu. Ia berusaha meredakan dadanya yang sakit serta nafasnya yang sesak. Setelah beberapa lama, wanita itu bangkit dari sana dan masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak ada alkohol. Tidak ada media pengalihan. Tidak ada yang seperti itu sebelumnya. Rachel menunduk, mencengkeram marmer wastafel yang dingin kuat-kuat. Pandangannya berkunang-kunang dan dadanya begitu penuh itu menyakitinya betulan. Ia membutuhkan sebuah pelampiasan.
Saat itu, beberapa orang wanita di dalam gaun mereka memasuki ruangan. Acara sudah selesai. Rachel mengumpulkan dirinya kembali.
Dengan tekad kuat untuk melarikan diri dari acara itu langsung ke bar langganannya, wanita itu berderap keluar dari kamar mandi. Orang-orang yang tumpah ruah sudah memenuhi area yang tadinya kosong.
Tiba-tiba saja, hak tingginya yang nyaris tidak pernah dikenakan menjadi sangat lemah. Tubuhnya oleng, dan pria yang sangat ia benci itu menangkap pinggangnya, membantunya kembali stabil.
Rachel menarik dirinya bertepatan dengan pria itu yang menarik tangannya dari pinggangnya dan menyodorkan buku yang tertinggal di tempat duduknya tadi.
"Terima kasih."
Orang-orang mulai memerhatikan mereka. Banyak wanita terkesiap ketika menyadari siapa pria yang sedang memunggungi mereka demi menghadapi seorang wanita. Rachel bisa melihat bahwa, dari kejauhan, ayahnya juga menyimak interaksi itu.
"Saya mohon maaf untuk yang tadi," kata pria itu sebelum ia menjauh pergi.
Melepaskan hak tingginya, Rachel berjalan keluar dari sana, melampaui ayahnya yang sedang bercengkerama, melampaui sahabatnya dan calon tunangan pria itu yang sedang sibuk masing-masing, dan menaiki tangga untuk mencapai lapangan parkir di mana mobilnya berada.
Ia menyetir dengan jendela terbuka, membiarkan angin menerpanya, bermain-main dengan rambutnya, mencoba menghiburnya, dan mengusir pertanyaan yang begitu besar tercetak di benaknya, soal bagaimana pria itu tahu ia telah tersakiti.
OOO
07/04/22
KAMU SEDANG MEMBACA
She who Keeps both Heaven and Hell Occupied
RomanceRachel Helena memiliki misi untuk menjadi kekecewaan terbesar bagi ayahnya. Karena perselingkuhan ayahnya dengan pembantu mereka, ibu dari Rachel meninggal bunuh diri. Di hari yang sama, selingkuhan pria itu juga mati. Alhasil, Rachel mengubur ibuny...