delapan

301 50 6
                                    

Kencannya terjadi di sebuah gereja.

Gereja kecil saja. Dan tua saja. Gereja biasa, sebetulnya. Yang membedakannya dari gereja lain adalah bahwa gereja itu masih terang-benderang di pukul 20 malam itu sementara gereja lain terlelap.

Rachel memarkir mobilnya di lapangan parkir, menyusul Jared yang sudah turun dari mobilnya.

"Kita lakukan konseling pranikah," adalah kalimat pertama Jared ketika wanita itu tiba di sisinya. "Saya sudah membuat janji dengan pendetanya di perjalanan tadi."

Rachel tidak kepikiran soal konseling pranikah. Ia pikir pria bertato itu akan membawanya ke sebuah tempat kencan betulan. Ia hanya ingin semuanya segera berakhir, jadi wanita itu ikut-ikut saja. Menurutnya, ini hanya birokrasi.

Gerendel pagar berdecit ngilu, pagarnya terbuka, dan Jared melangkah turun melalui tangga yang sempit. Rachel mengikutinya. Tidak ada suara selain sepatu pria itu yang menapaki semen dan sepatu hak tinggi Rachel yang mengetuk-ngetuk benda keras dan lembut yang memantulkan cahaya lampu itu.

Tidak ada tanda-tanda bahwa keduanya ingin menikah. Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka adalah bahkan sebuah pasangan. Dan jika mereka adalah pasangan, dua orang itu terlihat seperti suami istri yang rumah tangganya sudah salah sejak awal jadi mereka tidak repot-repot melakukan apa-apa soal itu selain menempuh langkah prosedural melalui konseling pastoral sebelum diizinkan bercerai oleh Gereja.

"Selamat malam, Pak," sapa Jared dengan jabatan tangan dan suara tegas. Senyum menghiasi wajahnya yang lelah. "Mohon maaf menyita waktunya malam-malam begini."

"Bukan masalah, Jared. Senang melayani kamu lagi." Pria itu tersenyum lembut. "Apa kabar?"

"Puji Tuhan, baik. Ini Rachel, calon istri saya," ujar Jared, dan ia tanpa sadar menyentuh punggung Rachel demi membawanya ke depan.

Hanya sentuhan kecil, tetapi—ini terjadi di luar kendali Rachel—tubuhnya menegang seolah tersengat. Ia seperti permukaan air yang terbiasa terlalu tenang, terlalu dibiarkan, terlalu tidak berkehidupan, dan terlalu terbiasa menghadapi pekatnya langit malam tanpa sensor apa pun, sehingga jatuhnya sehelai daun menyentaknya hingga ke dasar.

Pendeta tersebut menyalami tangan Rachel. "Senang bertemu dengan Anda, Rachel. Saya Agustinus, gembala gereja ini."

Senyum pria itu lebih lebar dibanding yang ia berikan kepada Jared. Rachel tahu senyum itu palsu. Pendeta itu terlihat sibuk bercokol dengan sesuatu di pikirannya sehingga senyumnya bersandar pada etika, bukan ketulusan hati. Betapa Rachel tidak peduli. "Senang bertemu dengan Anda juga, Pak Agustinus."

Kemudian keduanya dibawa ke perpustakaan gereja yang sempit, karena ruangan utama akan menjadi penuh selepas persekutuan tengah minggu berakhir malam itu. Pendeta Agustinus seharusnya memimpin, tetapi Sesuatu memintanya melayani dua orang di depannya. Jared atau pun Rachel tidak tahu soal itu.

Ruangan itu pengap karena dipenuhi buku. Buku-buku lama berjejer rapi di semua sisi dinding dan di rak-rak yang mengisi bagian tengahnya. Di salah satu ujung ruangan terdapat sebuah meja yang kini diduduki ketiga orang itu.

"Wah, ini menarik." Agustinus menatap Jared dengan senyum ramah. "Di pertemuan terakhir kita, kamu tidak menyinggung apa-apa soal pasangan hidup."

"Ya." Jared membalas senyuman itu dengan sebuah yang tipis. "Ini terjadi cukup cepat. Sebentar lagi kami akan menikah, sehingga kami membutuhkan sesi ini."

Agustinus kini menatap keduanya bergantian. Pasangan ini bukan sebuah pasangan, ia tahu. "Jadi, kenapa tiba-tiba? Apa motivasi yang membuat kalian begitu cepat mengambil langkah ini?"

Tatapan pria itu mengganggu Rachel. Wanita itu membalasnya dan mempertajam tatapannya, tetapi semakin ia keras, semakin pria itu lembut, dan Rachel tahu sesuatu sedang berjalan dengan salah. Wanita itu mengalihkan tatapannya kepada Jared.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang