sebelas

297 44 4
                                    

Sudah lama sejak terakhir kali putranya pulang.

Jadi deru mobil itu membuat Peter Assad bergegas mengintip ke jendela demi mendapati bahwa anak itu betul-betul pulang. Ia membuka pintu rumah dan menyambut putranya.

Kehadiran seorang wanita di samping Jared membuat ayahnya tercenung di pintu. Keduanya tahu. Ayah dan anak itu tahu apa yang telah terjadi di dalam keluarga mereka, sehingga kehadiran seorang wanita di samping anak tunggal Assad adalah mujizat. Membuka hati kepada dunia luar adalah mujizat. Memiliki niat untuk memulai hidup baru adalah hasil karya kasih karunia Tuhan.

Karenanya, ketika anak itu tiba di hadapannya, Peter memeluk putranya sedikit lebih erat, lebih lama, dan tepukannya lebih mantap dari biasanya. Pria itu seperti mengatakan, luar biasa, Nak, kamu telah menang.

Jared menatap ayahnya. Ia mendapati kebanggaan dan sebersit haru di sana. "Apa kabar, Pa?"

"Luar biasa, Anakku. Langsung saja, Nak. Ini siapa?"

Jared menoleh kepada wanita di sampingnya. "Ini Rachel, Pa." Lagi-lagi, pria itu menyentuh punggung Rachel tanpa sadar. Reaksi yang ditimbulkan wanita itu tidak seintens sebelumnya.

"Halo, selamat malam," sapa Rachel kaku. Wanita itu menyalami tangan Peter yang terjulur kepadanya.

"Kamu sakit, Rachel? Butuh istirahat?" tanya Peter begitu perhatian ketika diinderanya kulit wanita itu yang panas.

"Tidak, terima kasih, Pak."

Ada sesuatu di dalam wanita yang berdiri di samping putranya yang terasa familier bagi Peter Assad.

Wanita itu mengenakan pakaian biasa. Kakinya yang tidak mengenakan alas juga biasa. Tidak ada yang spesial soal wajah cantiknya yang tidak juga tersenyum bahkan setelah berbasa-basi. Namun, wanita itu sukses mengingatkan Peter soal suatu titik di dalam waktu di mana dunia pernah menjadi sangat indah, sangat mulia, dan sangat terberkati dengan kehadiran seorang wanita.

"Mari, masuk. Tidak ada ruginya jika kamu memberi tahu dulu bahwa kamu akan datang, Jared," tegur Peter.

Rumah itu kecil. Begitu melangkahkan kaki untuk masuk, ketiganya langsung sampai di ruang tamu. Semuanya tertata dengan rapi untuk orang yang tidak pernah menerima tamu. Terutama, bagi Rachel, ini rapi dibanding apartemennya yang seperti telah ditunggangbalikkan.

"Tidak ada yang berencana untuk datang malam-malam begini, Pa. Tapi tampaknya Papa memiliki seorang sahabat yang aku tidak tahu." Jared melirik Rachel sekilas.

Peter menggestur wanita itu untuk duduk di depannya. Sementara itu, Jared mengundurkan diri untuk ke kamarnya yang sudah lama tidak ia kunjungi di kediaman ayahnya.

Rachel duduk di sofa yang sungguh sangat empuk di sana. Ketika itu ia ingat bahwa sofa di apartemennya begitu keras. Ia memiliki uang untuk membeli sofa yang bagus. Anehnya, tidak ada bagian dari dirinya yang tergerak untuk membeli sofa baru. Pada dasarnya ia tidak memiliki harapan kepada benda-benda lagi untuk memberikannya kesan bahwa ia memiliki rumah.

Terdapat jejeran air putih dalam kemasan di meja yang bertaplak putih. Tidak ada debu di meja atau di sofa. Padahal, di dalam sana, Peter tinggal sendiri. Ia tidak memiliki pembantu atau asisten dalam bentuk apa pun. Rachel merasa rumah Peter Assad mengingatkannya kepada rumah. Pria ini menciptakan rumahnya dengan tangannya sendiri, tidak dengan benda-benda. Seorang ibu dan ayah dalam satu figur yang mulia.

"Apa saya pernah mengenalmu sebelumnya?" tanya Peter kepada wanita yang tengah mengenakan jaket kesayangan putranya itu.

Berbeda dari wanita bersetelan kelewat formal itu, Peter mengenakan kaos dan celana pendek. Tubuhnya di usia lanjut sudah melebar. Namun, terlihat jelas bahwa dulunya pria itu bertubuh sama seperti putranya. Terlihat jelas bahwa Jared mewarisi banyak bagian dari kesempurnaan itu dari ayahnya.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang