delapan belas

225 34 0
                                    

"Terima kasih, Dokter Rachel," hatur Tina sungguh-sungguh dari sofa di kamar VIP di mana ibunya dirawat. Putrinya tertidur di pahanya, nyenyak dalam kelegaan yang hanya bisa sedikit-sedikit ia dapatkan di tengah situasi itu. "Terima kasih untuk semua ini."

"Ini sudah menjadi tanggung jawab etis saya. Semua bagian dari ini sudah saya antisipasi dan saya bahas di dalam proposal tesis saya. Justru, terima kasih atas kesediaan keluarga Ibu."

Semua ini akan menjadi gratis jika partisipan itu ditangani di Anatasis karena semua dana dari Arya Salbatier, sponsor tesis Rachel, akan menanggungnya. Namun, ini di rumah sakit lain. Semua pengeluaran ditanggung oleh Rachel sendiri.

"Oh, Dok..." Tina menarik nafas dan membuangnya kuat-kuat. "Saya benar-benar tidak berdaya tanpa Dokter," katanya, mengingat betapa runyam pikirannya tadi ketika Rumah Sakit mengatakan bahwa ibunya harus dirawat dan kamar yang tersisa adalah VIP. Mereka tidak memiliki asuransi. Mereka tidak memiliki apa-apa. "Terima kasih sekali. Apa ada yang saya bisa lakukan untuk membalas itu semua? Yah, mungkin bukan sesuatu yang berarti." Senyum Tina terulas rikuh.

Ada. Rachel ingin memeluk Tasya. Ia ingin memeluk anak itu kuat-kuat. "Jangan khawatir, Bu. Dokternya akan visite besok. Saya berharap semua berjalan dengan baik. Apa ada yang bisa saya bantu lagi sebelum saya pergi?"

"Tidak ada, Dokter. Terima kasih sekali."

"Bagaimana dengan pakaian ganti Ibu, Tasya, dan Eyang?"

"Saya akan mengurus semuanya, Dok. Saya bisa minta tolong Rowan untuk itu."

Hati Tina menghangat. Betapa Rachel Helena adalah dokter yang memiliki segalanya: kompetensinya, kerendahan hatinya, kemanusiaannya, dan semua yang mulia yang terhadapnya tidak ada pertentangan dari hukum. Tangan wanita itu mengusap kepala putrinya sembari melepas kepergian dokter yang menolak diantar ke lantai bawah itu. Tina berharap bahwa Tasya berakhir seperti Rachel.

Yang mana, jangan sampai.

Tidak seharusnya seorang anak didoakan menjadi seperti Rachel. Mereka tidak seharusnya tergulung-gulung dalam urusan-urusan di rumah sakit, menunggui seorang pasien dengan setia, mengurusnya seperti keluarga sendiri, memilih jalan terjauh dan terpadat, dan menyetir dengan lamban hanya demi menghindari kenyataan bahwa seseorang di garis mereka telah berpulang.

Bagaimana pun juga, itu hanya soal waktu. Satu jam kemudian, Rachel tiba. Ia memarkir mobilnya di depan kediaman neneknya dan membuka selot pagar. Decitan dari gesekan selot pagar dengan besi penguncinya terdengar jelas di lingkungan yang sepi itu. Lampu pekarangan Susan menyala redup, menyinari rumput-rumput yang sudah dipotong rapi dan taman yang segar dengan ragam bunga yang cantik.

Rachel tetap masuk ke sana meskipun rumah Belanda yang dulunya selalu sekarat ini kini mengingatkannya soal rumah masa kecilnya, soal bagaimana ibunya begitu jatuh cinta dengan tamannya, dan soal bagaimana taman itu terbengkalai bersamaan dengan ibunya yang melemah.

Langkah wanita itu terhenti di kamar pertama dari pintu. Isak tangis terdengar dari sana.

Ada mayat Susan di atas kasur, dan ada seorang wanita yang tidak pernah Rachel lihat sebelumnya, duduk di kursi di samping Susan.

Wanita itu mengenakan seragam perawat. Rachel tidak tahu neneknya mempekerjakan seorang perawat. Perawat itu menangis-nangis di samping tubuh itu, kepalanya tertelungkup di atas lipatan tangannya. Bahu perawat mungil itu berguncang-guncang. Sesekali ia mengangkat kepalanya demi menangisi mata Susan yang terpejam, yang tidak akan pernah terbuka lagi.

Rachel masuk ke dalam kamar itu. Kakinya menapaki lantai batu abu-abu yang dingin itu hingga ia sampai di samping ranjang Susan. Ia memandanginya sebentar, kemudian melipir ke sebuah kursi di sudut ruangan yang lowong itu, dan duduk di sana.

Sama seperti 18 tahun lalu, Rachel mengurus ini-itu terkait sebuah mayat. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

"Saya turut berduka cita, Bu Rachel." Perawat itu berbalik dan menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar hebat, isakannya berubah menjadi lebih hebat. Selama 1 tahun ini, ia telah melayani Susan. Jika ia merasakan duka sebesar itu sebagai orang yang terlibat selama 1 tahun, maka duka yang Rachel rasakan seharusnya mampu menyeret anak itu ke dalam kematian yang sama.

Tidak ada respon dari Rachel. Ia sudah berbicara kepada seseorang di ujung telepon, "Saya membutuhkan jasa penguburan untuk malam ini atau besok. Di taman—"

"Ibu ingin dikremasi," sela perawat paruh baya itu, pelan.

"Tidak jadi. Maaf." Rachel mematikan telepon, kemudian mengutak-atik ponselnya. Sementara itu, keheningan yang aneh pecah di dalam sana.

Perawat ini heran. Rachel adalah keluarga yang seharusnya berduka. Namun, wanita itu tenang. Ia tidak hanya tenang, ia prosedural. Wanita itu hanya mengurus, menangani, mengatasi, ia tidak ada di sana. Ia tidak ada dalam kedukaan itu.

Melihat itu semua, tangan kurus perawat ceking itu terkepal. Ia marah, tersinggung, dan hancur. Sebagai perawat, ia tidak pernah merasakan itu sebelumnya. Namun, Susan telah menjadi berbeda dari majikannya yang lain. Susan telah menjadi sahabatnya. Dan ia merasa sahabatnya tengah dilecehkan oleh cucunya sendiri, bahkan ketika wanita itu sudah tiada.

"Tidakkah Ibu berduka bahwa nenek Ibu telah pergi?"

Konfrontasi tiba-tiba yang bernada dingin itu sukses membuat Rachel mengangkat pandangannya. Jari-jemarinya berhenti bergerak, melayang di atas layar ponselnya, tetapi tidak ada balasan darinya, membuat si perawat kian murka.

"Tidakkah Ibu tahu bahwa Ibu begitu disayang olehnya, bahwa ia menyebut nama Ibu saja kemarin ketika ajalnya menjemput? Bahkan ketika kondisinya menurun drastis, ia tetap mengaku ia hidup sendirian di dunia ini. Namun kemarin ia menyebut Ibu, dan ia ingin Ibu ada di sini. Sekarang saya ragu apakah ia benar-benar sendiri ataukah ada keluarga lain. Tapi hanya Ibu, Bu Rachel, yang ia inginkan di sini. Ia meninggalkan semua untuk Ibu. Ia mempersiapkan semua dengan tangannya sendiri untuk Ibu. Nenek Ibu layak mendapatkan lebih dari ini, lebih dari sebuah penguburan."

Seorang cucu seharusnya meratap dan mencengkeram dadanya yang nyeri setelah mendengar monolog emosional yang membuat dada perawat itu naik-turun. Rachel hanya membalas tatapan sang perawat dengan sorot datar tipikalnya, kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.

Kini Rachel tahu mengapa neneknya merekrut perawat, dan mengapa perawatnya yang itu. Tidak seperti Rachel, perawat ini masih hidup. Ia masih merasakan, masih sensitif, dan masih terkoneksi dengan kerentanan emosi manusia lain. Itu adalah apa yang neneknya butuhkan selama ia hidup, yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa saja.

Di bawah sorot geram perawat itu, Rachel berbicara kepada orang di ujung telepon.

Sampai keesokan paginya Susan diproses, perawat itu mencoba membuat sahabatnya dihargai. Ia berdoa, ia berharap, ia rela--dan ia telah--menukar semua yang ia miliki di hadapan Tuhan demi kesempatan untuk melihat cucu sahabatnya ini setidaknya berduka sedikit. Satu tetes air mata saja, setidaknya, atau sepatah-dua patah kata yang mengenang bagaimana neneknya berperingai selama ia hidup, apa kesukaannya, apa yang membuatnya jengkel. Apa pun itu.

Namun, setelah semuanya, Rachel tetap sama. Tidak ada air mata atau sedikit saja petunjuk bahwa ia berduka.

Tidak ada alasan mengapa wanita berhati begitu mulia dan luhur seperti Susan harus menerima semua ini. Bahkan proses kremasinya gersang. Tidak ada kebaktian atau upacara keagamaan apa-apa. Hanya Rachel, si perawat, dan beberapa petugas krematorium itu yang menyaksikan peti Susan dihempaskan ke dalam sebuah tabung raksasa. Beberapa jam kemudian, Susan sudah berubah menjadi abu dan abu itu sudah berada di dalam sebuah tempayan.

Rachel ingin memberi uang kepada perawat itu untuk semua bantuan dan kesetiaannya sampai titik akhir, tetapi perawat itu menolaknya. Ia pergi setelah memberikan secarik surat kepada Rachel.

Setelahnya, Rachel masuk ke dalam mobilnya, meletakkan neneknya di kursi penumpang.

Ia menyetir mobilnya keluar dari sana dengan kecepatan yang membahayakan semua orang, tanpa tujuan yang jelas, tanpa tangan neneknya yang mencengkeram rahangnya.

OOO

31/07/22

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang