sepuluh

315 44 3
                                    

"Saya bisa menemui ayah Anda hari ini," ujar Rachel setelah membayar bubur ayam keduanya, makan malam kompensasional di antara mereka.

Mereka keluar dari sana menuju mobil masing-masing. Angin kencang di suhu 21 derajat celcius malam itu menyerang kedua orang itu seraya mereka menghadang jalanan yang kosong. Diam-diam Jared menoleh kepada Rachel, dan ia tenang mengetahui bahwa wanita itu masih mengenakan jaketnya.

"Itu bisa menunggu," jawab pria itu dengan bibir sedikit kaku. "Anda lebih baik fokus kepada kesehatan Anda saja."

Rachel melipat tangannya di depan dada dan mengeratkannya. Udara begitu dingin sehingga setiap desah angin seolah melepas-lepaskan dagingnya dari tulang di tubuhnya hanya demi menyengat tulang-tulang itu. "Saya sedang fokus kepada diri saya ketika saya meminta bertemu ayah Anda malam ini."

Mungkin karena ia sedang tidak sehat atau mungkin karena ia memang tidak berbakat mengenakan sepatu hak tinggi, Rachel terpeleset dan kakinya terkilir. Begitu sakit, ia akan berakhir jatuh terduduk jika saja pria itu tidak menangkapnya.

Tubuh Jared Assad besar. Bahu pria itu lebar dan dadanya bidang. Siapa pun yang dipeluknya akan merasakan hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, membatalkan semua kedinginan, ketakutan, kegelisahan, dan amarah. Namun, Rachel menarik dirinya segera dan menatap pria itu penuh penolakan.

"Terima kasih." Rachel duduk di atas kap mobilnya dan mengangkat satu kakinya untuk diurut.

Jared berjongkok, menyentuh kaki Rachel yang langsung wanita itu tarik.

"Berikan saya kaki Anda, Rachel. Boleh?" pinta pria itu dengan nada yang membuat Rachel paham bahwa melalui nada inilah, Jared Assad begitu disegani di perusahaannya di mana ia mempraktikkan otoritas mutlak.

Rachel mendongak. "Tidak."

"Anda bisa menyetir dan membawa diri Anda tiba di rumah dengan selamat dengan kaki itu?"

Jared Assad selalu membuat semuanya profesional, itu adalah kesimpulan Rachel malam itu. Pria itu tidak berkomentar apa-apa soal tubuhnya yang cukup terekspos di depan ayahnya. Ia tidak mendekatinya atau menjauhinya karena alasan personal. Jika pria itu memintanya minum atau makan atau mengenakan jaket, itu karena pria itu telah dirugikan dan karena Rachel membutuhkan sesuatu untuk mendukung tubuhnya yang sakit sehingga ia bisa berada dalam kondisi prima untuk bertemu dengan Peter Assad dan menikah lusa. Semua persuasinya didasari alasan-alasan pekerjaan dan karenanya Rachel merasa aman.

"Tidak bisa, dan jika saya tidak selamat, maka pernikahan itu tidak dibutuhkan lagi. Kita sama-sama bebas," ujar Rachel asal. Wanita itu memanjangkan kakinya dan memutar-mutar pergelangannya.

"Lebih baik?" tanya pria itu sambil memandangi Rachel dan kakinya bergantian.

Rachel terdiam. Masih sakit. Wanita itu menarik kembali kakinya dan mengurutnya.

Jared melihat jam tangannya yang mengitari lengan kirinya yang kekar. "Saya bisa mengantar Anda pulang," ujar pria itu sambil memungut hak tinggi wanita di depannya.

Mengertilah Rachel bahwa Jared Assad tidak memiliki waktu untuk bagian mana pun dari ini. Wanita itu mengambil alih sepatunya. "Bagaimana Anda tahu bahwa saya akan pulang?" tantang Rachel.

"Saya tidak tahu," kata Jared, mengalah begitu saja karena salah satu dari tubuh mereka sedang sangat panas. "Saya hanya berpikir bahwa Anda sakit dan tempat pertama yang harus Anda kunjungi adalah rumah Anda sendiri."

"Saya tidak akan pulang."

Jared membuang napas pelan. "Jadi Anda akan ke mana, Rachel?"

"Saya akan ke rumah Peter Assad."

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang