dua belas

301 41 3
                                    

Itu adalah gereja tua yang terpencil di kaki gunung.

Lahan besarnya mubazir karena gereja itu hanya memiliki satu bangunan sebagai ruangan beribadah. Bangunan Belanda yang catnya sudah keropos dan luntur. Sisa tanah di sekelilingnya digunakan untuk lapangan yang seharusnya menjadi tempat parkir. Namun, sudah sejak lama lapangan itu terbengkalai. Sama seperti gereja itu terbengkalai.

Rumput-rumput tajam tumbuh liar di pekarangan yang dibelah oleh sepotong jalan dari tanah. Pagar besi penuh karat yang mengelilingi gereja itu dililit oleh tanaman rambat yang tumbuh liar. Gerendel pagarnya berdecit ketika diterpa angin, begitu ngilu kedengarannya di telinga. Kesan mistis menguar kuat dari sana. Tidak ada harapan di dalam gereja itu. Dan karena itu Rachel Helena memilih untuk beracara di sana. Untungnya pendetanya masih tinggal di dekat sana, meskipun ia mulai terlihat putus asa dengan profesi kependetaannya. Hal itu hanya menjadikan semuanya sempurna.

Di dalam gereja, berkas cahaya matahari tengah hari siang masuk, menyerang jendela-jendela yang tinggi, menembusnya, dan membiaskan cahaya dari jutaan warna pada gambar potongan-potongan hidup Yesus Kristus selama Ia hidup di Bumi.

Langit-langit gereja yang terlampau tinggi menciptakan ruang kosong yang besar dan mengintimidasi, menjadi simbol keangkuhan pasangan superaneh yang melakukan semuanya dengan bisnis. Mereka membayar si pendeta yang sudah menyerah. Mereka membeli gereja itu. Mereka mengakali hukum. Dan mereka menikahi satu sama lain. Pernikahan adalah istilah yang terlalu suci untuk bisnis semacam itu.

Kata-kata di benak sang pendeta tercerai-berai. Sudah lama ia tidak melakukan ini. Peluh menuruni sisi kepala pelontosnya. Kertas sontekan berisi kata-kata yang harus ia katakan menjadi basah di tangannya yang berkeringat hebat. Yang mendengarkannya berkhotbah hanya 5, seharusnya ia tidak gugup. Atau justru karena itu ia sangat gugup. Lima orang yang hadir itu semakin menegaskan kekosongan yang mengelilingi mereka. Lima orang itu duduk manis dan atentif.

Pendeta itu berdeham. Suara dehaman berat itu segera merambat hingga menyentuh pintu utama, menciptakan sensasi yang membuatnya kian cemas. Diliriknya para mempelai dengan matanya yang sedikit sipit. Gurat-gurat lanjut usia berlipat-lipat di kulit bawah matanya.

Kebisuan pecah dengan lama. Kedua mempelai tidak keberatan soal itu. Tiga orang tamu yang hadir begitu sabar dengan semuanya.

"Anda boleh mencium istri Anda."

Pandangan Jared Assad sedari tadi hanya tertuju kepada si pendeta. Begitu juga Rachel.

Mata wanita itu sayu, menatap sang pendeta dengan kantuk karena semalam ia tidak tidur, bukan karena ia adalah perawan yang akan menikah, tapi karena ia akan menikah. Saking mengantuknya, Rachel tidak sadar ia bernafas dengan perut. Wanita itu tidak menyiratkan keinginan atau penolakan untuk dicium atau diapa-apakan. Terserah saja.

Namun, Jared tidak kunjung menciumnya. Satu-satunya kontak fisik yang pria itu lakukan adalah tidak ada, karena mereka bahkan tidak bertukar cincin.

"Apa selanjutnya?" tanya Jared kepada sang pendeta.

Pendeta itu memperbaiki posturnya rikuh. Ia pikir ia baru saja membuat sebuah dosa besar dengan menyuruh pasangan ini berciuman. Ia akan mengingat pria yang menatapnya tegas itu. Jared Assad, dan mempelainya yang tidak tercium, yang mengantuk, yang seperti baru saja dijual.

"Tidak ada," katanya. "Mari kita berdoa."

Setelah amin diucapkan, semuanya sudah selesai.

Upacaranya sudah selesai. Misinya sudah tuntas. Jared mendapatkan Rachel dan Rachel mendapatkan apa yang ia mau. Wanita itu mendapatkan nama akhir yang membuat ayahnya berang.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang