tiga belas

293 43 1
                                    

Ironisnya, kepahitan itu ditekan oleh sesuatu yang pahit juga.

Di meja yang terletak di ujung itu, Rachel megusap-usap gelasnya sambil menatap cairan di dalamnya.

Ia mengusap-usap dan terus begitu. Usapan yang pelan dan konsisten, penuh kelembutan seorang anak perempuan kepada ayam kesayangannya, seperti mempercontohkan kepada kekosongan bagaimana harus mengasihinya, seperti mendeklarasikan kepada bayang-bayang bahwa itulah yang ia tunggu-tunggu.

Satu hal baru saja menjadi nyata hari itu, bahwa Rachel Helena tidak pernah dikasihi oleh siapa saja.

Reagan Tirtajana, ayahnya, mengasihi anak haramnya. Nenek dan kakeknya mengasihinya karena ia adalah bagian dari ibunya. Dan kini, Rachel mulai percaya bahwa ibunya mungkin mengasihinya karena ia adalah bagian dari suami wanita itu.

Tidak ada yang mengasihi anak itu sebagai seorang pribadi yang utuh, yang Rachel Helena saja.

Wanita itu menenggak alkohol yang telah usai dia usap-usap, yang seolah telah dia sayang-sayang, seakan kasih sayang itu akan menyebar ke seluruh tubuhnya.

Barnya mulai penuh di pukul 1 malam itu. Rachel adalah yang pertama datang. Ia menyaksikan semuanya dari awal. Anak-anak muda mulai berdatangan dan bercumbu. Jika semua ini terjadi dulu, Rachel akan mempersalahkan pria untuk fenomena itu. Namun, sekarang, nyata baginya bahwa wanita sampah juga.

Neneknya sama brengseknya dengan kakeknya. Semua orang rusak, dan karenanya semua orang destruktif.

Kepala wanita itu sudah penuh dan menjadi sulit untuk berpikir, tetapi kemarahan itu masih hidup di suatu sudut di hatinya. Rachel menginginkan kematian total. Ini hampir seperti terasa seperti keinginan untuk bunuh diri.

Di detik-detik terakhir itu, sebuah pemikiran terbersit di kepala dan hati anak itu, bahwa inilah yang ibunya rasakan di tahun-tahun hidupnya. Seberat ini, sendirian. Tidak ada alkohol atau sesuatu untuk meredam emosinya. Mungkin sesuatu itu pernah ada, tetapi tidak lagi mempan ketika suaminya semakin mencintai wanita lain dan figur orang tuanya semakin samar.

Setidaknya Rachel pernah dikasihi oleh orang tuanya. Setidaknya ia pernah memanggil seseorang ayah, dan benar-benar memilikinya. Setidaknya ia pernah memanggil seseorang ibu, dan benar-benar tidur di bawah ketiaknya. Magdalene hanya memiliki panggilan, tidak pernah figur.

Rachel menenggak habis semua sisa alkoholnya dalam satu tekad yang bulat, atau justru tak lagi terbentuk, karena jika ia mati dan jatuh ke neraka karena ini, maka jadilah.

Kemudian wanita itu merasakan kepalanya seperti akan meledak. Bagian terburuk dari adiksi itu adalah titik perbatasan itu, antara hidup dan mati, antara sadar dan tidak. Semua suara dari semua alam bercampur-baur, mengatakan bahwa ia tidak seharusnya melakukan itu, bahwa Tuhan tidak lagi menginginkannya, bahwa ia adalah wanita paling dikasihi Tuhan, tetapi kasih karunia-Nya mulai habis.

Itu adalah titik paling buruk di dalam hidupnya. Semua jenis emosi membentur satu sama lain, membentuk kebingungan dan keputusasaan yang menggantung nyawanya dalam kondisi hampir mati. Rachel memohon di dalam hatinya untuk dipulangkan sekalian, tetapi ia malah tergantung-gantung di perbatasan antara neraka dan surga. Tidak ada raja di titik abu-abu itu, dan karenanya Rachel sendirian.

Sampai kemudian seorang pria duduk di kursi di depan wanita itu. Pandangannya memang kabur, tetapi ia mengenal aroma itu. Jared Assad.

"Hei!" pekik seseorang menggelegar, mengejutkan seisi bar. Langkahnya panjang-panjang mendekati Jared. "Anda tidak diperkenankan mendekati wanita ini!"

Jared menatap Rachel yang menunduk dan memijat kepalanya. "Dia istri saya."

Terdengar seperti lelucon di telinga pria kekar itu. Pria itu menatap Rachel, berusaha meminta konfirmasi, tetapi wanita itu kian mabuk.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang