empat

446 48 2
                                    

Lagi-lagi, Rachel memilih tempat duduk di sudut yang dapat menyaksikan semuanya.

Dari tempat duduk di samping tembok kaca yang mengarah ke parkiran itu, ia dapat mengawasi lapangan parkir, lorong yang menyambungkan lobi dan ruangan utama, serta tempat duduk Raphael yang memerhatikannya dari sudut yang tidak akan kelihatan Jared Assad.

Lima menit sebelum waktu pertemuan, Rachel melihat sebuah Audi hitam memarkirkan dirinya di tempat parkir sebuah restoran eksklusif di Ibu Kota. Jared Assad dalam tuksedo hitam turun dari sana, disambut oleh panasnya udara dan teriknya sinar matahari pukul 12 itu. Alis tegasnya serta-merta mengerut samar dan langkahnya cepat serta panjang-panjang ke dalam. Setelahnya, Rachel kehilangan pandangan akan sosok itu.

Jared berderap melampaui lobi menuju tempat utama di mana meja-meja tersusun rapi. Wallpaper berwarna cokelat keemasan dengan motif abstrak yang melapisi tiga sisi dinding membuat ruangan sedikit gelap di bawah penerangan lampu berwarna kuning hangat. Meskipun begitu, di tengah keremangan itu, ia dapat melihat Rachel Helena.

Langkah pria itu terhenti. Tanpa bertanya, Jared tahu wanita itu menunggunya untuk apa. Sejak semalam, ia tahu bahwa kalimat terakhirnya akan menciptakan kesan di benak wanita cerdas itu, tetapi ia tidak menyangka Rachel akan bergerak begini agresif.

Tatapan mereka terkunci untuk beberapa saat sebelum pria itu memindai seisi ruangan melalui partisi yang membatasi lorong, dan mendapati seorang pria duduk di sebuah sudut dengan jaket kulit yang semalam menempel pada tubuh Rachel, tersampir pada punggung kursi di sampingnya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya.

"Permisi."

Perhatian Rachel teralihkan kepada Raphael yang mendatanginya. Ia menoleh ke kiri kepadanya.

Raphael memanjangkan tangannya, menyerahkan jaket kulit yang tidak rela ia lepaskan karena aromanya yang mengumumkan permusuhan tetapi juga membuatnya mendamba. "Kantor menelepon. Jared Assad berhalangan hadir dan telah menjadwalkan ulang makan siang ini."

Dari ekor matanya, Rachel tahu Jared masih berdiri dalam lorong yang remang-remang, dan pria itu masih menatapnya. Ia menerima jaket kulitnya. "Oke."

"Anda bisa menjamin hal ini tidak sampai kepada Pak Arya?"

"Tentu saja."

Raphael tahu langkah selanjutnya adalah meminta nomor telepon wanita itu. Sayangnya, keberanian yang ada padanya tidak cukup untuk melakukan itu kepada wanita yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu, sehingga ia segera memohon diri dan keluar dari sana. Tanpa ia ketahui, pria tinggi yang dengannya ia baru saja berpapasan adalah 20 miliarnya.

Melintasi lorong yang gelap, Jared melangkah kepada Rachel. Tatapan keduanya tidak lepas sedari tadi.

Apa yang telah dilakukan pria itu tidak biasa bagi Rachel. Pria itu tidak biasa bagi Rachel. Ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Jared atau apa yang sedang dilakukan pria itu kepadanya.

"Kursi ini untuk saya?" tanya Jared masih sambil berdiri, memaksa Rachel untuk menengadah demi mempertahankan kontak mata.

Tatapan Rachel sayu karena tidur yang sudah lama tidak ia miliki, tapi ia masih tegas, "Tidak dalam konteks personal."

Jared memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Seharusnya Anda menyadarinya juga, bahwa percakapan soal semalam menyangkut identitas Anda, dan dengan demikian, layak dihargai lebih dari dua puluh miliar. Dan seharusnya Anda tidak mengenakan setelan sekasual itu ke dalam suatu kesempatan yang menurut Anda formal."

Rachel memundurkan kursinya dan berdiri dari sana, membuatnya lebih mudah menatap Jared dengan tingginya yang berakhir sebatas rahang pria itu. "Jadi apa yang dapat kita pertukarkan untuk membuat makan siang ini tidak personal?"

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang