empat puluh empat

220 21 2
                                    

Wanita itu melorot di dinding kamar mandinya. Matanya yang berat sesekali tertutup. Di tangan kanannya sebotol anggur yang isinya tinggal sedikit, di tangannya yang lain sepucuk surat. Jaket kulitnya sudah tanggal. Ia membiarkan kulit pucatnya terekspos, sama seperti bagian atas gaunnya yang memiliki noda muntahan.

Sesekali, dengan sisa-sisa kesadarannya yang serentan uap, wanita itu menenggak lagi alkoholnya. Ia mengangkat tangannya, dan tangan itu akan terasa seolah mengambang di ruang tanpa gravitasi, dan kemudian tangannya akan terkulai lagi di samping tubuhnya setelah ia meminum cairan pahit itu.

Pandangannya telah menciptakan ribuan bayangan dalam satu waktu yang sama. Hal ini menambah rasa mualnya. Wanita itu bersusah payah menarik dirinya dari tembok. Ia menggerakkan kepalanya mendekati kloset yang masih penuh dengan muntahan sebelumnya, kemudian menumpahkan lagi isi perutnya di sana. Tanpa membilasnya, wanita itu kembali lagi ke tempat semula, menyender seperti buluh yang siap patah dalam terpaan angin paling pelan.

Dan bahkan saat itu pun, tangan kirinya tidak melepaskan surat itu.

Rachel menemukan surat tulisan ayahnya itu di rumah mereka dulu. Saat itu adalah hari di mana Lukas diberitakan hilang. Rachel mencarinya ke mana-mana, hingga ia sampai di rumah masa kecilnya. Ia memasuki ruang kerja ayahnya untuk yang pertama kalinya setelah puluhan tahun, dan mendapati surat itu.

Dari tanggalnya, Rachel tahu surat itu ditulis di hari pertama ia hilang selama tiga bulan. Isinya cukup panjang, tetapi yang tidak pernah Rachel lupakan adalah satu kalimat singkat di baris akhir ini: ampuni Papa yang membuat Mama pergi, dan ampuni Mama yang pergi dengan cara itu.

Rachel tidak masalah bahwa ibunya pergi. Hati empat belas tahunnya bahkan berdoa agar ibunya yang sengsara segera dipanggil pulang dan menemukan kebebasan abadi. Namun, sekarang setelah ibunya pergi dengan cara itu, tidak ada penghiburan bagi Rachel.

Anak itu tidak bisa mengamini ucapan ibumu sudah berada di tempat yang lebih baik, atau ia sudah berbahagia bersama Bapa sekarang. Semua lirik pujian dan semua ayat Alkitab adalah kesia-siaan absolut. Di keabadian nanti tidak akan ada korban lagi, tidak akan ada anak domba Allah yang lain yang akan disalib. Dosa ibunya tidak akan tertebus, dan mereka berpisah dan berduka selamanya.

Jika Rachel memiliki satu kesempatan, ia akan bertanya, kenapa Mama tidak bertahan sedikit lagi? Maksud Rachel, bukankah itu tanggung? Sebentar lagi wanita itu akan mati. Kenapa ia tidak menunggu sebuah kematian alami seperti Wanita Itu? Dengan begitu, dukanya akan memiliki batasan waktu dan setidaknya sesuatu akan adil.

Dan jika ia memiliki satu kesempatan lagi, ia akan keluar dari akar terdalam kepahitannya, dari filsafatnya yang paling marah, dan teologinya yang paling rusak, dan bertanya pelan pada ibunya serupa dengan ketika ia berbicara pada partisipan nomor 50: apakah Rachel bukan alasan yang cukup?

Apakah Rachel benar-benar tidak cukup? Rachel akan melanjutkan, dan kali ini dia tidak akan meminumnya, Bukankah Rachel adalah putri Mama, sehingga seharusnya Mama menatap Rachel, dan berbisik pada diri Mama sendiri, oke, aku akan bertahan untuk anak ini? Apakah benar-benar harus seorang suami? Dan apakah—sama seperti Tasya, dan ayam Rachel, dan hal-hal lain—Rachel masuk ke dalam golongan yang kurang, terlampau jauh di bawah titik cukup, dan tidak relevan?

Selama puluhan tahun ini, Rachel membangga-banggakan ibunya seolah-olah ibunya lebih kudus dan lebih baik dibanding ayahnya. Ia membela ibunya seolah-olah wanita itu menginginkan dan mengasihinya juga.

Sekarang, dengan surat itu di tangannya, dan dengan Jared Assad yang memadamkan segala harapan, Rachel tahu ia tidak bisa atau perlu membela siapa-siapa lagi. Kebenarannya jelek dan itu nyata: Rachel tidak pernah diinginkan, ia sendirian, dan untuk itulah ia mencoba menerobos menuju titik hitam saat ini. 

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang