epilog

708 42 20
                                    

Tiga bulan itu berlalu lebih lama dari satu hari, lebih cepat dari tiga puluh dua tahun.

Selama itu, ada hal-hal baru yang dipelajari dan hal-hal lama yang dilepaskan. Hal-hal lama itu semua orang sudah tahu, sementara hal-hal baru itu adalah hal-hal tinggi, seperti bagaimana cara berduka yang baik, seperti apa caranya bergumul, dan bagaimana caranya untuk mengenal, dan bukan hanya mengetahui, Tuhan.

Satu hal yang Rachel pelajari soal duka: ia hanya harus ada. Ia hanya harus menangisinya. Beberapa kesempatan, ia perlu menggelar alas di antara makam ibu dan ayahnya dan menikmati kesedihan di sana. Sesekali perlu juga untuk terlelap di sana sampai malam menjelang. Sering juga ia duduk di balkonnya semalaman di samping suaminya yang sekarang tinggal di unitnya.

Intinya, banyak cara untuk berduka, tetapi satu yang pasti gagal: meminumnya.

Setelah ia melepas ayahnya, mungkin setelah sebuah mujizat dibuat oleh Tuhan, Rachel ingin berduka. Ia tidak pernah meminumnya, dan tidak ingin lagi. Ada keindahan di dalam duka. Ada sebuah keintiman dengan Tuhan Yesus dan dengan diri sendiri dan semua hal, yang hanya bisa dicapai melalui dukacita.

Duka memang jelek dan merah, tetapi meminumnya membuatnya jelek dan merah selamanya. Dan bukan hanya merah, tetapi juga hitam. Dan bahkan bukan hitam, tetapi juga—dan ini yang paling mengerikan—abu-abu.

Jadi satu-satunya cara adalah menimangnya dengan sabar, seperti mengurus anak tiga tahun yang bingung dan anak empat belas tahun yang marah. Dan ketika Rachel melakukan itu, ia mulai bisa merasakan warna lain.

Rachel tidak pernah menduga ia akan pernah merasakan itu, tetapi ia... lega.

Perlahan-lahan, di antara linangan air matanya dan usapan-usapan lembut suaminya, Rachel bisa menghargai keputusan ibunya. Ia bisa mengampuni kesalahan mereka dan luka yang abadi yang mereka torehkan. Semua orang berdosa, termasuk di dalamnya para orang tua. Semua orang membutuhkan kasih karunia, terutama para orang tua. Tuhan adalah Allah yang baik. Ia mengasihi semua orang, termasuk para orang tua. Ini artinya, di mana pun ibu Rachel berada, ia berada di tempat yang terbaik bagi Tuhan.

Lihat, perlahan-lahan, Rachel tidak hanya tahu tentang Tuhan, melainkan juga mengenal-Nya. Ia tidak hanya mengetahui hukum-hukum-Nya, melainkan juga mulai melihat kenapa Ia membuatnya demikian. Dan ketika hal itu terjadi, seorang anak akan berhenti merasa dimanipulasi. Ia akan berhenti berpikir bahwa dunia ini berporos pada suatu hukum yang antipati terhadapnya.

Rachel sempat memikirkan hal ini dalam-dalam, soal kapan filsafat-filsafat pahitnya mulai luntur. Ia tidak menemukan jawabannya sampai suatu kali ia pergi ke tengah laut.

Wanita itu duduk di atas sebuah perahu. Di atas pangkuannya terdapat tempayan berisi abu neneknya. Ia menebarkan abu itu ke air, memandanginya hanyut dan menyatu dengan buih-buih yang menyilaukan di bawah sinar matahari. Suasana itu begitu dalam baginya, begitu sentimental. Sebagaimana abu itu hilang, begitu juga Rachel selama beberapa saat. Oleh sebab itu, baru ketika abunya habis, ia menyadari bahwa Jared Assad sedari tadi duduk di sampingnya.

Selama beberapa saat yang tenang, di tengah terpaan angin laut, Rachel memandangi pria itu. Kesadaran itu lantas menghimpitnya: itulah yang terjadi selama ini. Jared Assad selalu ada di sampingnya. Pria itu melakukannya dengan sangat baik sehingga ia menjadi tidak terlihat. Ia bahkan nyaris menyatu dengan dunia luar, tetapi dengan kekuatan yang Rachel tidak tahu didapatkannya dari mana, pria itu tidak menyatu.

Sekarang, setelah Rachel pikir, bukankah pria itu yang membantunya berdiri setelah jatuh berkali-kali? Bukankah ia yang kemudian membantunya memikul salib? Dan di atas segalanya, sama seperti Kristus yang mengasihi manusia ketika mereka masih berdosa, bukankah pria itu memandikannya ketika ia bahkan tidak layak disentuh?

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang