16. Poseidon

501 83 7
                                    

Valhalla, Midgard, dan Heilheim adalah tiga alam yang diketahui hampir seluruh makhluk. Baik hewan, tumbuhan, manusia, ataupun dewa. Yang masih hidup, maupun yang sudah mati. Namun, selain tiga alam itu, terdapat satu alam lagi. Di mana alam itu tak ada makhluk yang ingin menghinggapinya. Bahkan sang penciptanya pun—para dewa—enggan memasuki alam tersebut. Serta, hanya ada satu cara menuju alam itu, di mana cara tersebut adalah dengan cara mati di dunia Valhalla. Kematian di dunia Valhalla, berarti adalah kematian yang sebenarnya. Orang yang mati di sana, akan dikirim ke suatu alam yang disebut alam yang kekal. Atau terkadang mereka juga menyebut alam yang kekal tersebut sebagai alam hampa.

Tak ada suara apapun di dunia itu. Sangat gelap, melebihi gelapnya dasar laut terdalam apalagi gelapnya malam. Tak ada apapun di sana, kecuali batu-batu yang memiliki siluet tubuh makhluk-makhluk yang telah dikirim ke alam sana.

"[Y/n]...."

"[Y/n], bangunlah," panggilan lembut yang tak asing di telinganya, menggema, membuat dewi kecil yang terkapar di alam tersebut membuka matanya dengan cepat. Ia mengedarkan pandangannya, tak ada apapun yang dapat ia lihat.

"Ayah?" sahut gadis itu. Ia beranjak bangkit dari tengkurapnya, tetapi tangan kirinya tertahan oleh batu abu nan keras. Rupanya batu tersebut telah menyelimuti tangan kirinya, membentuk siluet tangan kiri gadis itu dengan sangat mirip.

"Lepaskan!" ucapnya sembari menarik tangan kirinya sekuat tenaga, batu yang menahannya pun retak. Begitu ekstrim ia menarik, sampai-sampai ia terjungkal tatkala batu yang menempel pada permukaan itu berhasil ikut retak dan melepaskan tangan kirinya.

[Y/n] bangkit dari jatuh duduknya. Ia mengeluarkan kekuatan cahayanya yang dicampur air laut sebagai penerang jalan di hadapannya. Kakinya pun mulai menyusuri suatu tempat yang tak ia kenali di sana.

Tempat ini pasti lebih menyeramkan daripada Heilheim. Batin [Y/n], sembari mengedarkan pandangannya. Ia menyilang tangannya di depan dada, telapak tangannya mengelus lengan. Bulu kuduknya berdiri. Ia sangat yakin, ini adalah tempat yang lebih seram dari Heilheim. Di mana pada Heilheim, siapapun masih bisa melihat kehidupan di sana. Sementara alam hampa ini, tak ada apapun yang bisa dilihat. Tempat yang sukses membuat rasa stress dan putus asa sebagai alat pembunuh penghuninya.

Langkahnya terhenti, tatkala melihat postur tubuh yang tak asing di matanya. Mata dewi muda itu seketika berkaca-kaca, ia berlari, memeluk pemilik postur kekar dengan wajah tampan yang berdiri tak jauh di hadapannya.

"Ayah!" isaknya. Memeluk erat tubuh yang sudah menjadi batu keras itu. "Aku merindukanmu!"

"Aku juga, Nak." Tangan kekar mengelus rambut [Y/n], tubuh pemilik tangan yang sedari tadi terbalut batu keras itu pun perlahan kembali ke bentuk sebenarnya. Bagaikan sebuah jawaban atas isakannya. Membuat gadis itu berhenti menangis dan mendongak. Menatap pria yang kini tersenyum lembut, dengan surai kuning khasnya. Sadar akan sosok yang menjawab keluhannya, gadis itu kembali mengeluarkan air mata dan suara isakannya.

"Maafkan aku, Nak," lirih Poseidon, membalas pelukan erat [Y/n]. Pria itu membasahi bahu sang anak dengan air matanya. Ia sangat merindukan [Y/n] sekarang, dewi yang selalu menjadi anak kecil di matanya. Dewi yang ia kasihi, sekaligus dewi yang menuntunnya ke jalan yang lebih baik. Anak bungsunya, sekaligus anak yang selalu merengek kepadanya. "Sungguh ... aku menyayangimu."

[Y/n] mengangguk, ia tak menjawab ucapan Poseidon. Dirinya ingin menikmati pelukan tersebut. Pelukan yang sangat ia rindukan. Di mana pelukan tersebut sebagai bukti kasih sayang sang ayah. Bukti yang selalu Poseidon berikan.

"Mengapa kau ada di sini?" tanya Poseidon, melepaskan pelukannya. Ia mengerutkan dahi, kedua tangannya memegang bahu [Y/n] lembut. Tatapannya kini menatap lamat-lamat mata [Y/n]. "Jalan hidupmu masih panjang, tidak seharusnya kau ke sini."

✔ Demi God [ Qin Shi Huang x Reader] || Record of RagnarokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang