8. Terpuruk?

409 41 6
                                    

Setelah kembali dari pemakaman, Azkia langsung masuk ke kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia langsung mengurung dirinya selepas pulang. Bahkan, Azam memanggilnya pun ia sama sekali tak menggubrisnya.

"Kia, ayok makan dulu." Azam terus mengetuk pintu kamar Azkia yang tertutup rapat.

Tok tok tok

"Kia Abang mohon, buka dulu pintunya. Abang mau ngomong Kia, buka pintunya." Azam tak menyerah begitu saja, ia terus mengetuk pintu itu dan terus memohon.

Karena merasa terganggu, telinganya terganggu dengan suara bising itu. Ia berdiri dan berjalan gontai untuk membuka pintu, tentu dengan tatapan kosongnya.

Cklek

Azam langsung masuk setelah pintu terbuka. Ia menuntun Azkia untuk duduk bersamanya.

"Kia---" Azkia langsung menyela ucapan Azam.

"Mau sendiri," lirihnya membuat Azam mengeryit.

"Tapi Ki--"

"Kia bilang Kia mau sendiri bang!" Pekik Azkia tertahan. Azam mengangguk dan berusaha mengerti.

"Iya, Abang bakal pergi. Tapi janji, jangan sakiti diri kamu? Hm?" Azkia tak menjawab, ia hanya mengangguk pelan.

"Nanti abang kesini lagi, anter makanan. Atau kamu mau turun aja?" Tanya Azam di sambut gelengan dari Azkia.

"Yaudah, nanti Abang anterin makanannya ke kamar kamu ya,"

"Gak bang. Kia gak mau makan." Tolaknya.

"Kamu harus makan. Abang tau kamu sedih, kamu kehilangan. Tapi bukan cuma kamu, ada keluarganya yang lebih merasakan sakit itu,"

'tapi Kia juga sakit banget bang. Tiga tahun menahan rasa tanpa ada yang tahu satu orangpun. Dan disaat dia sebentar lagi menjadi milik Kia atas kemauan kita berdua, kenapa semesta merenggutnya? Kita saling mencintai, tapi kenapa semesta lebih mencintai Azry? Kenapa semesta gak bawa Kia juga buat ikut sama Azry?'

"Kia?" Azam melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajah Azkia yang tengah termenung.

"Iya bang,"

"Kamu denger kan kata Abang? Nanti makan ya? Atau mau makan sekarang hm? Nanti abang bawain." Tawar Azam mengusap pipi Azkia. Azkia tak menjawab, ia hanya menggeleng.

Azam menghela nafas "Kia, Abang mohon. Kamu makan ya?"

"Kia gak lapar bang,"

"Kalau Kia lapar, Kia turun." Lanjutnya membuat Azam tenang. Setidaknya ia akan sendiri lagi di kamar, ia ingin segera Azam pergi dari kamarnya.

"Yaudah, Abang tunggu kamu turun, ya?" Azkia mengangguk membuat Azam tersenyum lalu mengusap kepalanya yang masih terbalut hijab.

Pintu tertutup setelah Azam keluar, Azkia menguncinya. Entah dorongan darimana, ia menutup semua jendela yang ada di kamarnya, mengunci pintu balkonnya, dan membiarkan ruangan itu gelap tanpa ada cahaya sedikitpun, kecuali dari ventilasi-ventilasi kamarnya.

Setelah semuanya gelap, ia lebih memilih memojokkan dirinya di sudut kamar.

"Hiks," satu isakan lolos lagi dari mulut Azkia. Ia menyembunyikan wajahnya di lekukan lututnya. Ia menangis tanpa suara, ia menahan teriakannya.

Bukankah menangis tanpa suara itu sangat sakit? Menahan segala sesak seorang diri? Apakah kalian pernah merasakan?

"Kenapa? Kenapa takdir jahat sama gue? Kenapa dia ambil orang yang gue cinta? Apa Allah gak mau liat gue bahagia? Apa takdir suka melihat gue menderita?!"

Luka dan Kamu [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang