Sudah tiga hari ini Hana hanya diam, merenung dan menutup diri dari siapapun. Bahkan Samudra pun di buat kewalahan atas tingkah Hana.
"Makan dulu yuk?" Ujar Sam, laki laki itu berjongkok untuk menatap Hana yang asik menunduk, ia sampai tak tega melihat istrinya yang terlalu berantakan.
"Hana?" Hana menggeleng, ia beringsut menjauh dari Sam, membuat laki laki menghela nafasnya.
"Sayang, makan ya?" Hana menggeleng lagi, gadis itu memilih membuka buku buku paketnya karena ia sudah mengambil sekolah paket.
"Na, makan dulu baru belajar lagi."
"Gak kak."
"Sayang, ya? Sedikit aja, kamu dari kemaren gak makan." Sam menyibak rambut panjang sebahu Hana, melihat wajah pucat yang membuatnya makin khawatir.
"Tolong dengerin aku Na." Hana menghela nafasnya, ia menyenderkan tubuhnya di sofa. Perempuan itu hanya diam memandang kosong ke depan.
"Hana, jangan gini."
"Kenapa? Kenapa kak Sam bohong? Kenapa Papa jahat sama Saras?" Sam menggenggam tangan Hana, menciumi tangan mungil itu dan mengelusnya pelan.
"Han, aku takut kamu begini. Dan, itu beneran kejadian setelah kamu tau semuanya."
Hana menggeleng, "kalo kak Sam kasih tau dari awal aku gak akan begini, aku ngerasa bersalah kak sama Saras, dia terlalu baik buat aku tapi kenapa dia dapet perlakuan jahat dari Papa?"
"Na, kalo aku laporin Papa ke polisi boleh?" Hana sontak menatap Sam, perempuan itu menampakkan wajah tak relanya membuat Sam menghela nafas.
"Na, gak ada cara lain."
"Jangan, jangan laporin Papa Hana ke polisi." Ucapan itu membuat Hana dan Sam menoleh, ada Saras yang berdiri di ambang pintu, menatap memohon pada pasangan itu.
"Saras?" Hana lekas menghampiri Saras, memeluk tubuh kurus temannya itu.
"Han, jangan ya? Jangan, gue takut Mama sama Ayah tau ini, gue gak mau." Ujar Saras memohon, Hana mengangguk sambil menatap Saras dalam.
"Tapi, lo butuh keadilan Ras, jangan gitu." Saras menggeleng lemah.
"Gue malu kak, gue gak mau juga bikin Ayah sama Mama kepikiran."
Sam hanya bisa menghela nafasnya, tak tahan dengan kebejatan Papa mertuanya itu.
---
Sam duduk diam, menatap serius pada Qian dan Papanya yang tengah menatapnya serius juga. Kebetulan Sam dan Hana setelah mengantar Saras pulang mampir ke rumah orang tua Sam.
"Gue setuju sama pendapat Saras." Sam menatap cengo, bagaimana bisa seorang Qian tidak bijak segini.
"Bang gue rasa kuliah lo sampe S2 mubazir kalo goblok gini." Sarkas Sam, dirinya sangat membenci tindakkan begini jika tidak di dasari tanggung jawab.
"Cewek bakalan malu Sam, itu aib buat dirinya. Dampaknya juga banyak, belum lagi kita ga tau orang tua dia bakalan gimana sama kejadian ini. Apa kabar kalo nanti malah istri lo yang kebawa bawa juga?" Sam menggeram, ia mengusak rambutnya kesal.
"Lo gak ngerti maksud gue, gue bisa buat nutup identitas semuanya. Yakin sama gue bang, Pa bantuin Samudra." Sang Papa hanya menggeleng, ia tak mau anaknya kenapa kenapa.
Sedangkan Mama dan Hana hanya menyimak di ruang keluarga, pembicaraan ketiga pria itu terdengar lumayan keras.
Hana diam merenung, menutup mata setiap suara yang menyudutkan Papanya terdengar.
"Sayang, jangan nangis." Ujar Mama Sam, memeluk tubuh mungil Hana sambil sesekali mengecup kepala perempuan itu.
"Dengerin Mama ya? Saras butuh ke adilan Hana, Mudra udah benerkan?" Hana mengangguk, tentu saja sahabatnya itu butuh keadilan tapi kenapa harus sang Papa yang menjadi tersangka.
"Tapi Hana kasian sama Papa, Ma." Ucapnya pelan.
"Saras, kalo dia mau pilih gimana memangnya um?" Hana menjelaskan semua yang sudah Saras katakan tadi siang di rumah membuat sang Mama menghela nafasnya.
"Pikiran Saras emang gak salah, tapi tindakkan Papa kamu gak bener Hana. Kamu tau? Luka di perut Samudra?" Hana mendongak, lalu mengangguk pelan.
"Itu rencana Papa kamu nak." Hana menatap tak percaya lalu menggeleng pelan.
"Gak mungkin Ma, Papa aja waktu itu mau cari siapa yang tusuk kak Sam."
"Itu cara Papa kamu biar dia aman Hana."
"Percaya sama Mama ya? Hana sama Mama Hana bakalan gapapa kalo Papanya di selidiki."
"Kalo Hana siap, Mama bakalan bantuin Samudra nak." Hana menahan nafasnya, sesak sekali rasanya harus memikirkan ini semua.
"Na." Panggilan itu membuat Hana dan Mama sontak mendongak menatap Samudra yang memancarkan raut lelahnya.
"Tidur di sini ya? Aku capek." Ujar Sam lalu memilih berlalu menuju kamar.
Hana diam, menunduk malu atas segala sikap sang Papa.
"Hana jangan nangis." Suara lembut Qian membuat Hana menoleh, laki laki yang menjelma menjadi kakak iparnya itu duduk di sampingnya membelai rambut Hana sayang, sudah selayaknya adik kandung.
"Papa Hana bakalan baik baik aja, kita tutup kasus ini secara kekeluargaan tanpa hukum." Hana seakan menolak, tapi satu sisi egoisnya merasa tenang.
"Maksudnya? Kalian setuju atas tindakkan bejat itu?"
"Demi Samu sama Hana juga Ma." Jelas Qian, sang Papa masih duduk di ruang tamu.
"Gak ada Qian! Itu tindakkan salah!"
"Tapi kalo sampe Papa Hana di selidiki, Qian gak yakin tangan kanan Papa Hana yang lain gak akan recokin rumah tangga Sam."
"Ma, orang jahat selalu punya dendam yang kelewatan."
"PAPA HANA GAK JAHAT!" Teriakan Hana sukses mengalihkan perdebatan itu, bahkan Sam yang berada di kamar langsung keluar dan Papa mendekat ke arah mereka.
"Papa Hana gak jahat! Papa Hana gak jahat!" Hana menutup telinganya, merasakan dunia seakan berputar hebat. Hingga pelukkan yang nyaman membuat isakkan dari mulut kecilnya keluar lagi.
"Papa gak jahat, gak mungkin Papa gitu."
"Udah sayang, udah." Suara berat itu membuat isakkan Hana semakin panjang, membuat atmosfer rumah menjadi tak enak.
"Stop bahas itu, lain waktu kita bahas lagi." Ucapan Sam membuat Papa mengangguk, pria paru baya itu menyuruh Sam membawa Hana ke kamar.
Sam menggendong Hana memasuki kamar, merebahkan tubuh kecil istrinya dengan pelan pelan.
"Sayang? Papa gak akan kenapa kenapa." Ujar Sam, laki laki itu setengah duduk sambil memeluk Hana yang terbaring.
Hana menelusupkan kepalanya pada dada Sam, menangis kecil karena bingung memikirkan semuanya.
"Ssttt, liat sini. Kalopun Papa diselidiki, dia berhak buat itu sayang."
"Tapi... tapi Hana gak rela kak."
"Hana, bertanggung jawab itu tugas semua orang, dan Papa kamu wajib tanggung jawab dalam kesalahannya Hana."
Hana menggeleng kecil, matanya berair menatap Sam, Sam mengecup sekilas bibir istrinya yang memerah, menggeleng pelan.
"Semua orang punya tanggung jawabnya Hana."
"Hana gak rela kak."
"Sstt udah ya, sekarang tidur dulu." Samudra lebih memilih mengalihkan topik daripada harus membuat istri kecilnya terus terusan menangis.
---
Maaf:( maaf ngaret:( maaf jahat ke kaliam, maaf gak up up padahal kalian pasti nungguin:( hueeee maaf yaaa semuaa:(
aku deg degan bentar lagi selesai tapi masih sayang banget sama mereka, bingung harus gimana:(
Nanti kalo ending kalian gak boleh kesel sama pihak mana pun yaa... janji?:( masihada beberapa (banyak) part menuju ending kooo, tenangg😍
DADAHH JANGAN LUPA TEKEN VOTE PLUS KOMEN DONG🥺 biar aku rajin dan semangatttt🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
Androphobia( S1) Tamat
ChickLit(S2 ; On Going) masih satu lapak Tuhan itu menciptakan Adam dan Hawa. Tapi bagaimana jika gadis cantik yang tengah duduk di bangku SMA akhir ini takut dengan kaum Adam? Melihat kaum Adam layaknya tikus, hewan yang ia takuti. Melihat pria dari jarak...