Selentingan kabar bahwa Saras koma membuat gadis yang kini duduk sendirian dalam kamarnya yang berantakan mengeratkan lutut takut, ia tak ingin dirinya membusuk di penjara karena tindakan kejahatannya itu.
"A-aku gak mau! Gak!" Ia meremas rambutnya penuh penyesalan, menangis tersendu akibat kebodohan yang terlanjur ia lakukan.
"G-gimana? Gimana kalo sampe polisi tau?" Mata sayunya berkitar gelisah memandangi kamar kecilnya.
"Engga, aku harus pergi sebelum polisi tau ini." Ia berdiri dari posisi duduknya, menarik jaket dan topi, ia mengenakan itu tergesa lalu menarik koper di sudut kamar.
"Aku harus cepetan pergi." Ujarnya, ia menarik setengah baju di lemarinya ke dalam koper, tak perduli acak-acakan ia segera menggeret koper itu, menyusuri rumah dengan raut panik.
Ia keluar dari rumah itu, mengunci rumah itu tergesa. Bahunya menegang saat tangan kekar menghadang lubang kunci pintu rumahnya.
Ia spontan menoleh, rautnya yang semula panik berangsur pias pucat, "o-om ngapain di sini?" Tanyanya dengan suara melemas.
"Harusnya kamu yang saya tanya, kenapa kamu bawa koper sebesar ini?" Gadis itu mencengkram erat kopernya, mencoba menatap nyalang pada laki laki paru baya itu.
"Om kira saya bakalan rela diri saya masuk penjara? Jelas engga! Lebih baik saya pergi dari pad--
"--kamu berani memangnya pergi begitu saja?" Laki laki paru baya itu mendengus sinis.
Gadis itu mengeratkan rahang, "memangnya hal apa yang harus saya takuti?!"
"Saya, harusnya kamu takut pada saya. Sekalipun kamu pergi, kamu tetap akan masuk penjara. Terkecuali, kamu menurut untuk diam saja di sini." Gadis itu menggeleng tegas, mendorong laki laki tua itu dan menarik kopernya menuju mobil dengan tergesa.
Namun, langkahnya terhenti. Ia menunduk menatap sebilah pisau yang menembus perutnya, ujung lancip pisau penuh darah itu membuatnya menarik nafas sesak.
"O-om?" Ia menoleh, menatap buram pada laki laki paru baya itu, hingga tubuhnya limbung dan tumbang dengan secuil senyum sinis dari laki laki didepannya.
Riuh dari depan ruang Instalasi Rawat Instensif membuat beberapa pasang mata yang melintas melirik ingin tahu.
Gurat senyum tipis juga tangis bahagia dari seorang perempuan berambut acak-acakan itu membuat beberapa orang disana terenyuh.
Hana mendorong pintu kaca besar di depannya, memasuki ruangan super dingin dan menuju satu ranjang yang berisi seseorang yang tengah menatap kosong ke arahnya.
Langkahnya melambat seiring dengan air mata yang mengalir dari kedua matanya, "Saras." Ujarnya lirih, seseorang yang di sapa hanya mampu mengedipkan matanya pertanda bahwa ia menjawab ujaran Hana.
Perempuan itu langsung mendekap Saras sambil menangis tersendu, akhirnya setelah berhari hari perempuan itu dinyatakan koma, kini ada keajaiban yang membuatnya bangun lagi.
"Saras, mana yang sakit? Ada yang sakit'kan? Coba kasih tau Hana, biar Hana bisa bantu sembuhin." Ucapan lembut Hana membuat Saras memalingkah wajahnya, tak mau menatap pada Hana.
"Saras, kenapa buang muka. Ini Hana, ayo bilang sakitnya dimana."
Perempuan itu kembali menatap Hana, matanya memerah menahan caira bening yang akan meluncur dari sudut matanya, perempuan itu menggerakkan tangannya menyentuh tangan dingin sang sahabat dengan lemas, ia tersenyum sangat tipis lalu menggeleng pelan.
"Ngga ada yang sakit." Ujarnya pelan, Hana tersenyum sambil menyeka air matanya ia kembali memeluk tubuh lemah Saras dengan sayang.
"Maaf Saras, aku tau ucapan maaf aku gak bisa pulihin kamu, gak bisa obatin segala luka kamu. Tapi aku mohon, maafin aku Saras." Ujaran sendu Hana membuat hati Saras rasanya tercubit sekali.
Saras mengangguk pelan, matanya melirik pada Samudra dan Ibu Hana yang tengah diam menyaksikan keduanya yang berpelukkan, Saras nampak melihat jelas gurat lelah dari wajah Sam, kantung mata laki laki itu nampak melebar dengan raut bantal dan pipi yang terlihat turun, seperti sayuran layu yang kehilangan kesegaran.
"Aku pulang dulu ya Ma, harus ke kepolisian lagi soalnya." Suara Sam membuat Hana melepas pelukkannya pada Saras, perempuan bermata runcing itu menatap Sam penuh.
"Iya Sam, hati hati ya." Sam hanya mengangguk sekilas, memilih pergi dari sana tanpa berpamitan pada Hana.
"Hana, Mama keluar sebentar ya." Ujaran lembut itu hanya di balas anggukan oleh sang anak dengan pelan.
Ruangan itu makin terasa dingin, Saras hanya memilih diam begitu juga Hana yang hanya menatap kosong pada ubin.
"Ada yang mau lo omongin ke gue gak Han?" Hana mengerjap, membuat setitik air matanya jatuh. Saras menatap Hana dengan sorott teduhnya.
"Engga ada Saras, ngga ada yang mau aku omongin." Saras menarik pelan tangan Hana, lalu menggenggamnya erat.
"Bilang aja Hana." Tidak, Hana tidak mungkin mengungkapkan niatnya yang belum di ketahui siapapun pada Saras.
"Lo lupa kalo kita ini sahabatan? Ayo bilang aja." Hana menggeleng.
"Ngga ada Saras, kalo ada aku pasti bilang. Lagian kamu masih sakit gini." Hana mengelus surai panjang milik Saras dengan gurat senyum tipisnya.
"Lo bohong ke gue kalo gini." Hana hanya diam menunduk.
Perempuan itu tidak tau harus bercerita bagaimana, alasannya membuat keputusan ini saja rasanya terlalu kekanakan sekali, namun rasanya hanya itu yang bisa ia pilih.
"Aku beneran ngga kenapa kenapa Saras." Kalimat tegas dari Hana membuat Saras menghela nafasnya.
Perempuan itu melepas oksigen yang menutup hidung dan mulutnya membuat Hana menatap khawatir.
"Belajar bicara sesuatu ke orang lain Hana, orang lain ngga akan menjatuhkan lo." Hana terdiam sejenak.
Tidak mungkin, manusia mana memangnya yang mau mendengarkan curahan hati dari manusia lain? Bukannya mereka hanya bisa membandingakan dan bersikap tidak perduli sekalipun ia sudah bercerita?
Banyak dari temannya dulu yang menjadi jijik dengannya karena berita pelecehan yang ia alami, tidak sedikit juga yang mengoloknya bahkan mempermalukannya.
Tidak, Hana tidak percaya. Pikiran kolot mereka adalah "Pihak yang salah" kalimat menyayat yang tidak sepatutnya Hana dengar malah menerjang diri mungilnya dulu.
Hana tidak suka berbagi cerita pada orang lain, entah karena takut akan pendapat atau komentar buruk dari orang orang itu.
"Bohong, banyak manusia yang berpikir minus untuk orang yang salah. Aku gak percaya dengan orang lain Saras."
Saras terpatung, perempuan itu kian mengeratkan genggaman tangannya.
"Gue ada di sini Hana, orang yang pasti bisa lo percaya. Jangan pernah sungkan bilang apapun itu ke gue."
Hana menunduk, menangis lirih.
"Aku, aku milih buat cerai dari kak Sam." Saras langsung membeku, perempuan itu nyaris bangkit jika saja Hana tidak menahan tubuh lemahnya.
"Mau ngapain? Tiduran aja." Perempuan itu membantu Saras berbaring lagi sambil mengusap air matanya.
"Lo waras Han?" Hana malah menggeleng kecil sambil tersenyum.
"Gini, kenapa lo harus cerai?"
"Masalah ini disebabin karena aku sama kak Sam nikah Saras, aku rasa biar ini selesai hubungan aku sama dia harus diselesain dulu."
---
So sorry😣
maaf Buri menghilang, maaf yaaa...
Hiatus soalnyaaa beb, jangan lupa komen yaa😍❤️ DADAHHHH DROLIC
Drolic nih panggilan buat kalian, biar lucu
KAMU SEDANG MEMBACA
Androphobia( S1) Tamat
Chick-Lit(S2 ; On Going) masih satu lapak Tuhan itu menciptakan Adam dan Hawa. Tapi bagaimana jika gadis cantik yang tengah duduk di bangku SMA akhir ini takut dengan kaum Adam? Melihat kaum Adam layaknya tikus, hewan yang ia takuti. Melihat pria dari jarak...