Phobia

142 29 3
                                    

Sam melangkah menuju gedung kampus, rasa rasanya ia ingin sekali cepat cepat lulus, lagian sudah empat tahun ia menjejaki bangku perkuliahan dan itu membuatnya sedikit bosan.

"Samsudin?" Sam yang merasa terpanggil menoleh, menatap bingung pada seseorang yang memanggilnya.

"Bapak panggil saya?" Tanyanya bimbang, Samsudin biasanya adalah nama panggilan dari Winata dan Yasha, tapi bagaimana bisa pria tua itu tahu.

"Wah iya mas Samsudin, mirip kayak di foto." Sam menggaruk kepalanya bingung.

"Ada apa ya Pak cari saya?" Pertanyaan Sam di balas pukulan halus di bahunya oleh pria tua itu.

"Lho? Masa lupa sama saya? Ini lho saya yang pernah kamu mintain tolong dan kamu tolongin waktu itu." Kening Sam kian mengkerut, bingung harus bagaimana.

"Maaf Pak, engga inget." Ujar Sam canggung, pria tua itu nampak tersenyum kecil.

"Ya ngga apa-apa, kejadiannya kan tiga tahun lalu juga."

Sam merenung sebentar, lalu kembali menggaruk tenguknya.

"Bapak mau ngobrol dulu sama saya?"

Dan, kini mereka tengah duduk di kantin fakultas psikolog, Bapak tua itu nampak banyak tersenyum dengan Sam.

"Jadi, ada kejadian apa Pak tiga tahun lalu?"

"Dulu, yang kita lagi ngobrol waktu kamu bantuin Bapak waktu Bapak kecopetan itu, yang kamu minta tolong ke saya buat nolongin anak gadis yang mau di bawa pergi sama temen temen cowoknya itu lho nak? Masa engga inget?" Kening Sam makin mengerut.

"Maaf Pak, dulu saya pernah kecelakaan, dan ingatan saya sedikit buram. Jadi engga bisa sepenuhnya inget sama kejadian apa itu."

Bapak itu nampak menghela nafasnya sejenak, "ya nda apa-apa, Bapak ke sini cuma mau ngasih tau kamu aja kalo sekarang Bapak kerja di sini, jadi tukang pangkas tanaman." Sam mengangguk sambil tersenyum.

"Boleh Bapak ceritain ulang kejadian itu Pak?" Bapak itu nampak bimbang.

"Emangnya nak Samsudin engga keberatan?" Sam menggigit bibir bawahnya, tawanya hampir tersembur saat Bapak tua itu memanggilnya Samsudin.

"Enggak Pak, silahkan."

"Jadi, dulu Bapak suka mangkal jualan pernak pernik anak anak remaja, kayak kalung, cincin, atau hiasan kecil semacam gantungan kunci sama pintu, pas banget jualannya di deket gerbang SMA kamu Din," Sam mengangguk paham.

"Nah, hari itu Bapak kecopetan, terus copetnya di kejar sama kamu, terus kamu pukulin copetnya, kamu balik ke Bapak dengan muka lebam sana sini tapi senyum mu itu lho masih aja lebar,"

"Bapak bener bener makasi banget waktu kamu tolongin, coba kamu gak nolongin, anak sama istri Bapak engga makan hari itu." Suara pria itu meredup, namun secarik senyum di tarik lagi.

"Ya pokonya terima kasih banyak," Sam mengangguk.

"Sama-sama Pak. Tapi Bapak yakin itu saya?" Pria tua itu mengangguk mantap.

"Ya yakin! Orang mukanya aja mirip seratus persen, tadi Bapak juga ketemu itu lho temenmu si Win siapa gitu sama si Yasa." Sam mengerti.

"Ohh iya iya itu temen saya Pak."

"Abis kamu tolong Bapak, kamu dapet telfon dari Mama kamu, katanya saudara kamu ada yang sakit, jadi harus cepet cepet, Bapak iseng nanya nama ke kamu, kamu bilang namamu Samsudin, engga percaya sih Bapak sebenernya orang anak ganteng gini kok Samsudin." Sam malah tertawa kecil.

"Masih di panggil Samsudin Pak sampe sekarang."

"Kamu mau jalan pulang, tapi kamu berhenti sebelum naikin motor, kamu ngeliatin anak gadis yang di tarik cowok cowok ke dalem mobil, terus kamu minta tolong ke Bapak buat ngikutin mobil itu, kamu ngasih motormu ke Bapak terus kamu naik angkot."

"Dan angkot itu kecelakaan Pak." Pria tua itu terkejut, tapi Sam tersenyum.

"Lanjut aja Pak ceritanya."

"Sebagai rasa terima kasih Bapak ikutin mobil itu, engga tau kenapa kamu minta Bapak ikutin mobil itu, kamu gak kasih tau alasannya."

"Ceweknya umur berapa Pak? Seusia saya?"

"Ohh engga, badannya kecil anak SMP, paling kelas dua SMP."

Sam terdiam sejenak, mana mungkin.

"Bapak ikutin, dan bener cowok cowok itu mau lecehin perempuan ini, Bapak dobrak pintu rumah yang mereka masukin sambil bawa parang, kebetulan Bapak siaga waktu liat muka kamu."

"Dan, anak cewek itu selamat. Dia sampe makasih makasih ke Bapak, Bapak inisiatif bawa dia ke rumah sakit karena badannya agak lecet."

"Awalnya Bapak ragu buat masuk, sampe ada sekitar lima menit Bapak baru masuk, dan ke adaan ceweknya udah gak pantes di liat, maaf ya nak kalo perempuan itu adik kamu, Bapak sedikit telat nolongnya."

"Bapak tau ciri ciri nya?"

"Aduh, kalo itu Bapak ikutan jadi lupa."

"Yang pasti, dia sekarang udah sama orang tua nya lagi, ini Bapak temuin kamu cuma mau kasih kabar perempuan itu sama ngucapin makasih lagi. Motormu dulu Bapak tinggal di SMA, udah ada belum sekarang di rumah?"

"Ninja putih item Pak?" Pria itu mengangguk.

"Ada ada, nganggur."

"Ya udah, makasih ya Din, Bapak mau balik kerja lagi. Kalo mau inget jaman jaman SMA datengin aja Bapak, Bapak tinggal di rumah jaga kampus kok." Sam mengangguk patuh sambil tersenyum.

"Makasih juga Pak udah ceritain ini."

"Iya, duluan nak." Bapak itu lantas pergi, membuat Sam menghela nafasnya sejenak.

"Ngga mungkin, Hana kelas sembilan bukan kelas delapan."

---

Hana mondar mandir di depan pintu rumah, dia berniat keluar namun kunci rumahnya hilang dan tubuhnya tidak sekuat itu untuk menarik gerbang tinggi menjulang.

"Ih, resiko badan kekecilan ini sih." Gadis itu menggaruk kepalanya nyaris frustasi.

"Aku pengen keluar." Ujarnya sendu, dia menghela nafas dan memilih duduk sejenak.

"Kak Sam mana deh, lama banget." Dia menguap beberapa kali, menunggu memang membuat ngantuk.

Hana memilih menidurkan diri di kursi, menyenderkan kepalanya pada tembok, lumayan lah cuaca siang ini redup di tambah angin yang dingin seakan akan siap membawa badai.

Bunyi petir membuat Hana langsung membuka mata, dia mengamati sekitar lalu menghela nafasnya, laki laki itu belum pulang.

"Aku telfon kali ya?"

"Ah jangan, nanti dia geer."

Hana memilih masuk ke rumah, menutup pintu sambil mengamati dari balik jendela, ini akan hujan kemana perginya Samudra.

Tak lama suara mesin mobil membuat Hana langsung keluar dari rumah, nampak Sam yang tengah mendorong gerbang tinggi itu.

Hana mendekat, namun belum sampai ia keluar dari teras hujan mengguyur ia segera menarik payung dan berlari ke arah Sam yang masih kesusahan membuka gerbang.

Sam yang merasa dirinya tidak basah menoleh, yang semula berbadan condong kini berdiri tegak sambil menatap Hana.

"Masuk aja, hujan. Mobilnya tinggalin di luar." Sam mengangguk, lalu menarik payung yang Hana bawa, menggantikan gadis itu agar tidak sulit.

"Udah makan Na?"

"Udah."

"Mandi?"

"Belum."

"Jorok."

Hana menoleh ke arah Sam, "enak aja!"

Mereka sampai di teras, Sam melipat payung sedangkan Hana menyikap air hujan yang sedikit membasahi baju Sam dan rambut pria itu.

"Dungkuk sedikit." Ujar Hana, Sam menurut mendungkuk pelan hingga kepalanya bisa di gapai sang istri.

"Mandi, nanti pusing."

"Iya istri."

Androphobia( S1) Tamat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang