Hallo, Deers! Menik mule menggeliat nih. Makasih antusiasnya udah intipin cerita ini. Semoga eksekusinya kagak ambyar dan lancar ye. Yuk ah, jangan lupa semua pada kasih saweran vote n komen banyak-banyak. Yang belom follow, tinggal klik 'ikuti' aja, ye.
Selamat membaca.
💕💕💕
Uap mengepul dari celah tutup kendil yang meletupkan kuah mendidih. Harum rempah menguar semerbak di seluruh penjuru pawon sederhana berdinding anyaman bambu. Desisan rebusan kuah sop itu beradu dengan irama pisau yang sedang mengiris bawang merah untuk taburan saat penyajian, menghasilkan harmoni di pagi yang cerah.
Seperti hari yang lalu, pagi hari merupakan waktu yang sibuk untuk Menik. Sebelum subuh dia sudah bangun untuk pergi ke pasar dan selanjutnya memasak makanan spesial yang akan dia tawarkan hari ini. Menunya berganti-ganti. Kadang soto, tumpang, gudeg, dan hari ini dia memilih memasak sop pecok-olahan sop yang berbahan utama ayam kampung yang dipotong-potong bersama tulangnya.
Karena menunya yang berubah setiap hari, maka Menik hanya memasak sedikit. Selain itu dia harus menuliskan menu spesial hari ini di papan tulis kecil yang dipajang di depan warung sederhananya.
Orang memang menganggap warung Menik aneh. Namun, keunikannya menjadi daya tarik. Orang yang sama bisa setiap hari datang untuk makan di warungnya karena Menik selalu menyajikan makanan yang berbeda.
"Nik, menu spesial hari ini sop pecok?" Joko menyeruak masuk ke pawon yang dibatasi oleh sehelai kain tirai kotak-kotak.
Menik menoleh sambil mengurai senyum manis. Dia mengambil irus batok kelapa untuk mengambil sedikit kuah dan meneteskannya ke telapak tangan kiri.
Mata belok itu melebar setelah mencecap rasanya. "Enak!"
"Sini coba." Joko segera menghampiri kendil tanah liat yang kuahnya menggelegak itu dan mengambil alih irus dari tangan Menik.
"Dikit aje loh, Bang. Kata orang, pamali ngasih sisa makanan ke tamu." Logat Betawi Menik terdengar sangat kental.
"Iye. Gua juga ngerti, Neng!" ujar Joko yang udah hafal kebiasaan Menik.
Menik terkekeh. Aksen Joko terdengar aneh karena sepupu suaminya itu biasa berbicara dengan dialek Surabaya yang khas.
Menik kemudian meninggalkan Joko yang selalu ingin mencicipi masakan buatannya begitu matang. Persis seperti suaminya yang selalu bersemangat saat makan masakan olahannya.
Setelah mandi dan memantas diri dengan mengenakan kebaya warna biru dengan jarik yang membalut kaki, sementara rambutnya disanggul di tengkuk, Menik pun siap untuk membuka warung. Seperti biasa Menik akan memastikan ruangan bersih, alat-alat makan sudah dilap rapi, dan satu lagi ... dia akan menuliskan menu spesial hari ini pada papan tulis pengumuman yang akan dipajang di depan. Hanya orang yang bisa baca akan langsung memesan. Bila tidak, mereka akan bertanya apa masakan hari ini yang dijual.
"Bang, di mana papan aye? Kok kagak ada?" Menik melongok di bawah meja.
"Sudah aku taruh di depan." Kepala Joko menyembul dari balik tirai pawon.
Menik segera membuka pintu kayu yang tertutup untuk mengecek. Bibirnya tertarik lebar melihat tulisan Joko yang terlihat cukup bagus. Berbeda dengan dirinya yang asal bisa menulis, membaca, dan berhitung tanpa mengenyam pendidikan karena dia hanyalah anak pribumi yang melarat.
"Masakan Menik Hari Ini : Sop Pecok", ditulis dalam huruf tegak bersambung dengan kapur putih di atas papan hitam. Biasanya Ripto, suami Menik yang sudah meninggal beberapa bulan lalu, yang akan menuliskan sebelum berangkat ke kantor Sendenbu.
"Puji Gusti, bagusnya, Bang!" Mata besar itu berkilat, menyanjung pekerjaan Joko.
Joko melipat bibir, sambil memijat tengkuknya saat mendengar pujian Menik. "Ora sebagus Mas Ripto, Nik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...