Ada yang nungguin Yuuto n Menik? Jangan voment yak😊
💕💕💕
Walau berusaha mengingkari, tetap saja Menik merindukan Yuuto, hingga dadanya terasa sesak. Pikiran pun tak fokus dengan apa yang dia kerjakan. Hiburannya hanyalah percakapan pelanggan tentang berita terkini di Djakarta, termasuk kabar kebebasan anggota Eijkman kecuali dokter Achmad Mochtar. Walau dia tidak tahu siapa dokter Achmad, Menik tahu bahwa Yuuto terbebas karena petinggi laboratorium biomolekuler itu mengakui tuduhan sabotase vaksin.
Rasanya Menik seperti pengkhianat. Dia sempat tersenyum tipis, mendengar Yuuto dibebaskan pagi tadi. Mengetahui Yuuto masih bernapas, Menik bisa bernapas lega dan bahagia.
Sesuai janji Menik menyanggupi ajakan Joko, dia sudah berdandan rapi dengan baju kurung warna merah dan sarung emas. Sebuah selendang yang senada dengan sarungnya menutup kepala yang bersanggul di tengkuk.
"Ayu …," puji Joko dengan pandangan mendamba.
Menik memalingkan muka. Dia risih dengan perlakuan Joko yang sekarang sudah menyatakan diri bahwa dia benar-benar serius dengan Menik, sehingga Menik justru mengambil jarak. Berbeda dengan Yuuto. Walau awalnya dia berusaha memberi batas dengan laki-laki Jepang itu, kini dia bisa santai berceloteh. Bahkan saat membonceng bersama Yuuto, tak jarang Menik melingkarkan tangan di pinggang laki-laki itu.
"Nik, mungkin saat ini kamu sedang bimbang. Setelah kehilangan Mas Ripto, pasti hidupmu berat. Tapi … perlu kamu tahu, aku bakal nemenin kamu," ujar Joko saat memboncengkan Menik menuju Sendenbu.
Menik hanya mendesah halus. Untuk kesekian kali, Joko berkata hal serupa. Kalau dulu Menik menolak, tapi kini dia hanya diam, dan memilih mengalihkan topik pembicaraan hingga mereka sampai di gedung Djawatan Propaganda.
Setelah memarkir sepeda, Menik berjalan di sebelah Joko. Mereka tiba di ruangan besar yang digunakan untuk pertunjukan propaganda setiap hari Rabu. Listrik yang menyala terang, berkebalikan dengan pencahayaan di rumahnya, hingga membuat mata Menik silau. Gemerlap panggung pertunjukan juga berseberangan dengan hati Menik yang kosong. Walau raga Menik di situ, pikirannya melayang entah kemana.
Sudah cukup banyak hadirin yang datang. Sebagian masih bercakap di depan ruangan bersama kolega, dan sebagian lagi sudah menempatkan diri di bangku masing-masing. Joko memilih masuk dan menggandeng Menik untuk duduk di kursi barisan nomor lima, sesuai dengan yang tertera pada kartu undangan masuk. Sementara itu, sesekali Menik melirik ke arah Joko. Senyum semringah itu tak lekang di wajah. Menik merasa bersalah karena memberi harapan palsu. Namun, dia tidak tega menolak niat baik Joko. Ya, setidaknya cukup kali ini dia menyanggupi pinta Joko.
Tak lama kemudian, gemuruh alunan biola, seruling, gitar, ukulele, bajo, selo, dan kontrabas berpadu membentuk harmoni yang indah. Suara merdu Nyonya Sarinah juga telah menggema untuk menyambut para hadirin di hari rabu malam.
Menik akhirnya larut dalam pertunjukan malam itu. Kepalanya bergoyang ke kanan kiri mengikuti irama keroncong yang rancak. Di saat dia ikut berdendang bersama Ainur yang menjadi penampil berikutnya, menyanyikan tembang rancak, seketika matanya membulat. Dia melihat sosok Yuuto yang duduk di barisan depan bersama Kenta.
Menik berusaha membutakan mata, tetapi tetap saja hatinya terusik. Bolanya tetap nakal melihat bagian belakang kepala laki-laki yang dia kenal. Bahkan penampilan artis ayu dengan suara merdu Nyonya Menik yang berpadu dengan suara emas Ainur pun tak lagi dia nikmati. Padahal Menik sangat menyukai dua artis berbakat itu. Dia sekarang justru memicingkan mata untuk meyakinkan bahwa yang ada di depannya adalah Yuuto. Yuuto Kagami.
Rasanya Menik sudah tidak sabar menanti pertunjukan selesai. Dia benar-benar ingin memastikan yang dilihat adalah Yuuto. Dia ingin tahu kabar Yuuto. Namun, saat Menik teringat ucapan Kenta, tenggorokannya tercekat. Peluh tipisnya mulai merembes di pelipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Fiksi Sejarah19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...