15. Ini Perang!

1.5K 277 38
                                    

Hai, Deers! Nyapa dulu ah. Hari Senin waktunya ditemenin Menik dan Yuuto.

💕💕💕

Dengan langkah tergesa dan setengah berlari, Yuuto menghampiri Menik. Senyumnya masih belum lekang dari wajah.

"Konnichiwa (Selamat siang)" Yuuto membungkuk.

Menik membalas tersenyum tipis sambil membungkuk dengan tangan kiri menekan dada agar selendang yang mengerudungi kepala tidak melorot. Jantung Yuuto semakin berdebar saat mereka bersirobok. Apakah hanya perasaan Yuuto saja yang mengira Menik senang bertemu dengannya?

"Makan siang?" Yuuto merutuk lidahnya. Jelas dia tahu Menik membawa keranjang berisi bungkusan. Untuk apa lagi ditanyakan? Sekarang dia merasa persis sekali dengan orang Indonesia yang pintar berbasa-basi sejenak

"Iya." Menik terkekeh. Canggung.

Sejenak mereka terdiam. Pandangan mereka mengedar acak. Yuuto mengarahkan tatapan ke arah poster propaganda yang ditempel di papan pengumuman di depan Sendenbu. Dia bahkan sempat membaca tulisan poster : 'Ketjantikan perempoean Indonesia dengan kebaja, badjoe koeroeng, dan jariknya'. Tak dimungkiri Menik terlihat ayu dengan kebaya ketat yang menonjolkan dada besar serta jarik yang membalut pantat padatnya. Sungguh sebuah kecantikan pribumi yang sangat eksotis.

Sementara itu, Menik menatap daun pohon asam yang bergoyang-goyang seperti hatinya yang kini bergetar hanya karena sapaan Yuuto.

"Apa kabar, Sensei?" Menik pada akhirnya membuka topik.

"Sehat. Kamu ...?" Jantung Yuuto berdegup kencang hanya mendengar pertanyaan mudah itu. Seolah dia sedang menghadapi ujian besar.

Menik tersenyum. Beberapa hari tidak bertemu, Yuuto terlihat lebih berisi dan merona.

"Puji Gusti, sehat," ucap Menik jujur. "Maaf, aye harus mengantar-"

"Sini, biar aku bawakan." Yuuto meraih cantolan keranjang.

"Kagak usah. Aye bi-"

Namun, penolakan Menik tidak membuahkan hasil karena keranjang bungkusan makanannya sudah berpindah ke tangan Yuuto.

"Sensei ...." Menik menatap bingung.

Mata sipit Yuuto tinggal segaris, saat dia tersenyum lebar. "Ayo! Pelangganmu pas akan menanti."

Mau tidak mau Menik ikut melangkah di samping Yuuto. Gerakan kakinya pendek tapi cepat, terhalang jarik yang dia kenakan. Berkebalikan dengan Yuuto yang melangkah lebar namun sengaja lambat, untuk mengimbangi Menik.

Sesekali Menik melirik ke arah pemuda Jepang yang membawakan keranjangnya. Ah, kenapa hatinya serasa menghangat?

"Sensei, biar aye bawa. Aye ... kagak enak sama orang-orang."

Alis Yuuto mengerut. "Kenapa tidak enak? Menik-san tidak berbuat jahat."

Menik mendengkus. Apakah dia harus menjelaskan bahwa orang-orang di Sendenbu sedang menatapnya penasaran. Setahu orang-orang di situ, Menik adalah jandanya Ripto, walau memang sewaktu pemberkatan pernikahan, mereka tidak mengundang orang-orang dari Sendenbu. Kecuali Kenta Edogawa.

"Aye mohon ...."

Yuuto mengalah, mendapati tatapan memelas Menik. Dia menyerahkan kembali keranjangnya pada perempuan itu. "Nanti, saya akan datang ke warung. Boleh?"

Entah kenapa Menik hanya mengangguk hingga membuat senyum Yuuto semakin mengembang.

***

Sekali lagi Menik merutuk saat dokar Udin tidak lagi terlihat di depan kantor Sendenbu. Padahal Menik selalu mengingatkan supaya Udin tidak menerima penumpang lainnya saat menanti mengantar makanan.

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang