Hullaa, ada Dee di sini mau update kisah Menik n Yuuto. Buat yang nungguin silakan merapat dan ramaikan.
💕💕💕
Dada Menik berdegup kencang seiring dentum pintu yang tertutup, begitu Lela membukakan pintu untuknya. Dia buru-buru menatap tangannya yang masih terasa hangat saat digandeng oleh Yuuto.
Diambilnya saputangan kotak merah yang menyumpal ditekan tali kutang, dan menghirup dalam-dalam wanginya. Ah, persis seperti wangi Ripto. Apakah mereka mempunyai minyak wangi yang sama?
Menik menyadari, Yuuto memang berbeda dengan laki-laki Jepang pada umumnya. Cara Yuuto bertindak, membuat Menik merasa tersanjung, dihargai, dan … disayang?
Menik memukul dahinya, untuk mengeluarkan pikiran anehnya. Jepang masa penyayang? Tidak mungkin!
Mungkin Menik terlalu tertekan dan lelah dengan segala macam yang terjadi sehingga berpikir yang bukan-bukan.
"Ada apa, Mpok?" Lela menggosok matanya yang berat.
"Kagak. Sudah lu tidur lagi sana." Menik kembali menyusupkan sapu tangan itu di kap kutangnya, seolah harta yang takut dicuri, seperti kantong uangnya.
Desahan Menik menguar kemudian, saat hatinya berusaha menyangkal apa yang dirasakan. Tak dimungkiri, kehangatan perhatian Yuuto membuat hati beku Menik meleleh. Dia merasa nyaman dan dilindungi oleh lelaki Jepang itu.
Di sisi lain, Menik merasa sebaiknya dia harus memadamkan percikan api ketertarikan sebelum menderita. Bagaimana pun Nippon tetaplah Nippon. Dan tidak mungkin seorang penjajah mencintai pribumi yang dijajah.
***
Siang di hari berikutnya, Yuuto kembali datang. Lela mengabarkan saat Menik sedang memasak sayur asem untuk makan siang mereka.
"Tuan dokter?" Alis Menik mengernyit. Dia masih duduk di dingklik, menghadap perapian yang lidah apinya menjilat pantat periuk.
"Dokter Kagami." Lela menjelaskan.
Menik mendesah. Dia lalu bangkit dari duduknya dan mengusap tangannya di pantat.
"La, baju aye sudah sopan?" tanya Menik sambil memperbaiki gelungan rambutnya.
"Sudah, Mpok. Kan biasanya Mpok pakai baju rapi dan wangi juga. Persis kaya iklan di majalah Djawa Baroe."
Menik meringis. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Setelah memastikan semua rapi, dia masuk ke dalam ruangan yang biasa digunakan untuk warung.
Ruangan itu sekarang kosong. Hanya lelaki Jepang berkulit kuning yang duduk di salah satu bangku panjang.
"Selamat siang." Menik membungkukkan badannya sedikit.
Yuuto bergegas berdiri dan membalas sapaan Menik. "Konnichiwa."
"Ada perlu apa? Bukannya kemarin aye sudah bilang kalau Sensei kagak perlu kemari lagi?" Wajah Menik terlihat tegang dan tegas. Sampai-sampai dia melupakan siapa lawan bicaranya karena memakai bahasa tak baku. Kini dia harus menguatkan diri untuk melawan tatapan mata sipit yang tajam.
"Ano … saya ingin makan!" Katanya patah-patah. Khas seperti orang Jepang kebanyakan yang berbicara.
"Maaf. Warung aye tutup. Dan aye juga terganggu kalau Sensei sering datang ke sini." Menik berusaha menjawab sesopan mungkin. Percuma juga dia mengubah bicaranya. Toh, sudah terlanjur.
Sebenarnya, Menik tidak ingin membangunkan macan tidur. Kebiasaannya berterus terang, sepertinya harus dia tekan. Dia tidak boleh terlalu berani karena bisa jadi kenyamanan hidupnya akan terganggu. Perempuan itu pun juga tidak ingin usahanya yang sudah dia rintis sejak lama terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...