20. Menik
Seketika telinga Yuuto terasa pekak, seperti disengat ribuan lebah. Wajahnya yang sudah pucat semakin memudar ronanya. Kenangan pada akhir tahun 1943 kembali muncul di otak.
Saat itu ... Yuuto baru beberapa minggu datang ke Hindia Belanda yang sudah berganti nama menjadi Indonesia. Ini kali kedua dia menginjakkan kaki di tanah Djawa yang subur.
Sebelum mendapat penempatan, Yuuto ditempatkan di Eijkman untuk membantu penelitian yang menggunakan spora tetanus. Setidaknya pekerjaannya kali ini bisa memulihkan jiwanya yang terguncang setelah dia hampir ingin mengakhiri hidupnya karena telah membunuh seorang perempuan hamil untuk dijadikan objek penelitian sehingga membuat perempuan itu keguguran. Karena kehilangan janin, di depan mata Yuuto perempuan China itu mengutuknya sebelum menyusul janin yang luruh.
Berbagai upaya Kolonel Kagami tempuh untuk menyembuhkan putra bungsunya. Di antaranya memindahkan tugas Yuuto dari Harbin ke Indonesia. Di Djakarta, Yuuto menghabiskan waktu dengan penelitian bersama Yudha yang menjadi staf muda Eijkman.
Di sore hari, Yuuto akan berkeliling ke daerah-daerah pinggiran untuk memberikan pelayanan bagi penduduk yang nasibnya semakin mengenaskan dibanding sewaktu diduduki pemerintah kolonial. Kelaparan merajalela, membuat gizi buruk melanda di mana-mana. Beberapa orang tewas karena busung lapar, dan yang lainnya menderita penyakit TBC karena sanitasi buruk dan gizi yang tak tercukupi.
"Kenta, kamu bisa bantu aku sediakan beras? Cukup satu karung. Kalau bisa kamu cari di daerah lumbung beras. Harga di pasar sangat mahal." Yuuto sengaja mampir ke Sendenbu untuk meminta tolong pada Kenta. Sahabatnya yang bekerja di departemen propaganda itu banyak mengenal orang pribumi.
"Tenang saja. Aku akan meminta tolong temanku. Dia pelukis di sini. Dengar-dengar kekasihnya dari Kampoeng Sawah. Sawahnya luas sehingga setoran beras ke pemerintah juga banyak. Kapan kamu membutuhkannya?" Kenta mendongak dengan kedua alis terangkat.
Wajah Yuuto semringah. Dia akhirnya bisa memberi makan satu keluarga yang hidupnya sangat mengenaskan. Bahkan untuk membeli gaplek saja mereka tidak punya uang. Sudah dua minggu ini, Yuuto membeli beras beberapa karung, tetapi tak mencukupi karena gajinya belum cair. "Seminggu lagi?"
"Baik. Kita sekarang ke asrama para pemuda. Mereka kebetulan berkumpul. Akan kukenalkan pada Ripto, yang bisa membantumu mendapatkan beras murah."
Namun, sayangnya beras itu seharga nyawa Ripto. Perkenalan Yuuto dengan Ripto menyisakan kenangan yang membuatnya merasa bersalah.
"Hai! Saya akan mengirimkan lebih cepat," ujar Ripto begitu mendengar cerita Yuuto.
"Tidak perlu cepat. Paling tidak seminggu ini." Yuuto merasa tidak enak karena menurut Kenta, Ripto adalah pelukis handal kebanggaan Sendenbu. Pekerjaannya pasti sangat banyak, mengingat poster propaganda lelaki pribumi itu menghiasi di setiap sudut kota.
"Saya akan menikah. Oleh karena itu, saya akan mengurus permintaan sensei lebih cepat."
***
Jadi, Ripto menikah dengan Menik? Perempuan yang kemudian aku suka?
Selama ini, dia hanya berhubungan sekali dengan Ripto sewaktu meninjau kegiatan Angkatan Baru Indonesia bentukan Hitoshi Shimizu bersama Kenta.
"Lalu ... kenapa kamu takut?" Suara Yuuto bergetar. Dia tidak ingin terlalu jauh berpikir.
"Aye ... aye ... kagak mau Yuuto-kun luka."
"Kenapa?" kejar Yuuto.
Menik menunduk, masih sesenggukan. Dia melipat bibirnya erat. Apa yang harus dia katakan? Salahkah bila Menik khawatir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historická literatura19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...