Percakapan Yuuto dan Yudha terhenti saat dokter Achmad Mochtar dibawa masuk ke dalam sel nomor sepuluh di mana kedua dokter muda itu berada. Kedua junior itu, menyambut dokter yang masih tampak tegar walau bajunya sudah mengecap garis merah kecoklatan karena kulit di bawahnya terluka terkena cambukan. Wajahnya pun tak kalah mengenaskan dari Yudha.
Untuk sesaat mereka duduk di lantai dingin dan lembab dalam diam. Sesekali kesunyian mereka diisi dengan tawa tahanan yang akal sehatnya sudah mengabur akibat disiksa dengan tidak manusiawi.
"Yuuto-kun, sebaiknya, anda tidak perlu membela kami. Itu jauh lebih berbahaya untuk anda."
Seperti anak kecil, Yuuto memeluk kakinya yang tertekuk. Kepalanya menggeleng. "Tidak. Aku tahu pasti kalau kalian tidak bersalah. Bagaimana bisa aku diam?"
Dokter Achmad masih bisa terkekeh walau badannya sudah remuk. Yuuto heran, terbuat dari apa mentalnya hingga tak ada rasa gentarpun yang tersorot dari matanya.
"Dok, bagaimana nasib kita?" Suara Yudha bergetar. Selain karena menggigil dingin, tak dimungkiri dia dilanda ketakutan. Sedari radi dia menutup telinganya saat mendengar gemericik air yang mengingatkannya pada siksaan yang beberapa hari ini dia dapatkan.
"Nasibmu baik-baik saja. Kamu akan tetap menikah dengan Dayu." Dokter Achmad mencoba menghibur walau sebenarnya dia juga perlu dihibur. "Tahun depan kan?"
"Dok, bukan itu-"
"Kamu tidak usah khawatir, Yudha. Semua akan baik-baik saja." Senyum dokter Achmad itu menimbulkan desir nyeri di hati Yuuto. Bisakah dia setegar itu dalam menghadapi hidup di masa perang?
***
'Baik-baik saja' yang dimaksud Dokter Achmad akhirnya baru bisa dipahami oleh Yuuto dan Yudha beberapa kemudian. Pagi itu, sebelum subuh bulan November 1944, derak pintu kayu yang terbuka kasar membangunkan mereka bertiga. Badan ketiganya sudah kurus kering. Hanya Yuuto yang masih beruntung tidak terluka karena tidak pernah mendapat penyiksaan. Kolonel Kagami rupanya tetap melindungi Yuuto dengan berbagai cara termasuk menyodorkan surat pernyataan bahwa Dokter Achmad Mochtar dan kawan-kawan mereka yang bersalah.
Begitu sel terbuka, Yudha diangkat paksa oleh seorang tentara, walau pemuda itu belum sepenuhnya terjaga. Sementara Yuuto yang masih gelagapan, mengumpulkan nyawa untuk mencerna apa yang terjadi.
"Lepaskan!" Yudha yang dikunci lengannya ke belakang, berusaha memberontak.
"Ada apa ini?" Mata sipit Yuuto memelotot lebar, bergegas bangun.
"Anda dan Yudha-sensei dibebaskan!"
Yuuto mengernyitkan alis. Pandangannya bersirobok dengan Yudha lalu tatapan keduanya sama-sama beralih kepada Dokter Achmad yang tersenyum sendu.
Yuuto menggeleng. "Kenapa hanya kami? Kenapa tidak dengan Achmad-sensei?"
"Hasil penyidikan mengerucut kepada Achmad-sensei. Beliau akan menjalani pengadilan dan selanjutnya menunggu vonis."
"Pengadilan?" Yuuto tertawa miris. Mana ada pengadilan, karena di markas ini, Kempetai sudah merangkap sebagai hakim dan algojo. "Pengadilan apa maksudmu?"
Yuuto memukul tentara itu hingga jatuh tersungkur. Napasnya kembang kempis dengan dada yang bergemuruh digulung amarah.
Dokter Achmad berdiri, menahan Yuuto untuk mengamuk. "Yuuto-kun!" Lelaki dewasa itu menggeleng. Sorotnya membuat Yuuto segan. "Jangan begini! Masa depanmu masih panjang."
"Tapi, ini tidak adil! Anda tidak melakukan tuduhan itu!" Yuuto berseru hingga pembuluh darah di lehernya menonjol.
"Dalam hidup, banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Tapi ingat, roda kehidupan tetap berputar. Perang akan berakhir. Sekarang ... berhentilah menyalahkan diri sendiri. Keluarlah dari pusaran rasa bersalah itu. Kamu harus yakin, semua indah pada waktunya. Hal baik akan datang pada saat yang tepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...