2. Imoto

2.9K 454 59
                                    

Hulaaaa ... part dua Menik balik lagi. Ada yang nungguin? Semoga tiga bab awal ini bisa bikin kalian demen. Oh, ya, jangan lupa kasih vote n komen. Yang belum follow, kuy segera ikutin akun ini. Makasih ye, udah dukung enyaknya Menik. Semoga kalian terhibur. Lop yu pul sekebon dah!

💕💕💕

Yuuto Kagami duduk di belakang kemudi saat melajukan mobil dinasnya di jalanan berbatu dari kampung miskin di daerah Menteng menuju Sendenbu. Suasana hati yang tidak nyaman di tempat kerja, setidaknya terobati setelah dia bisa memberikan pelayanan pemeriksaan gratis kepada masyarakat pribumi yang hidupnya semakin mengenaskan.

Yuuto berpikir dengan kepindahannya ke Indonesia—nama baru Hindia Belanda setelah Dai Nippon datang—gejala gangguan pencernaannya akan berkurang. Namun, asam lambungnya akhir-akhir ini justru sering bergejolak, apalagi di saat pikirannya tak tenang. Seperti hari ini, saat Yuuto kembali didesak Yoji Nishimura, dokter Rikugun Gun'i_bu (bagian medis AD), untuk segera melakukan ujicoba beberapa vaksin untuk imunisasi.

Ah! Bagaimana bisa diujikan pada manusia, kalau pada mencit saja, mati?

Yuuto merutuk dokter dinas kesehatan itu dan kebijakan pemerintah. Menurutnya, daripada menghabisi nyawa rakyat karena percobaan vaksin yang sering gagal, kenapa tidak memberi makan mereka saja? Kondisi pribumi di Indonesia sangat memprihatinkan. Ada banyak kasus penyakit tercatat. Mulai dari malaria, frambusia, dan lain-lain. Sayangnya, penyakit honger oedeem atau busung lapar yang juga banyak diderita oleh masyarakat, ternyata tidak boleh dicatat oleh penguasa.

Menghadapi kenyataan itu, Yuuto hanya bisa pasrah ketika apa yang diyakininya berseberangan dengan petinggi pemerintah militer maupun kesehatan. Bahkan, beberapa kali Sota Kagami, ayahnya yang menjabat kolonel Kempetai, melarangnya untuk bertindak 'aneh'.

"Yuuto, perang itu ... dibunuh atau membunuh."

Yuuto semakin mual bila mengingat pernyataan Kolonel Kagami, ayahnya. Dia lantas menurunkan kaca jendela, berharap angin semilir yang menerpa wajahnya bisa menguapkan peluh dingin akibat jiwa yang tertekan.

Walau lambungnya mulai meronta ingin menguras isi, Yuuto tetap memginjak pedal gas. Dia tidak ingin makanan yang sempat dia makan tadi pagi, keluar percuma. Sudah beberapa hari ini, rasa mual itu menderanya, yang membuat energi Yuuto terkuras.

Seandainya perang sirna ... pasti tidak akan ada lagi alasan dibunuh atau membunuh. Seandainya perang tidak ada ... dia bisa melepas seragam kemiliterannya dan menjadi seorang dokter biasa.

Pengandaian itu nyatanya hanya angan-angan Yuuto. Walau burung pipit masih berkicau merdu di ranting pohon akasia, dan langit bumi khatulistiwa begitu cerah di awal tahun 1944, tetapi dunia tetap bergolak. Eropa meradang karena desakan Jerman, sedang Asia sengsara akibat kebengisan bangsanya.

Setelah satu jam lebih perjalanan, akhirnya Yuuto memutar kemudi ke kiri, hingga mobil berbelok menuju halaman hotel yang kini menjadi kantor jawatan propaganda. Sebelum turun, sekilas dia melihat perempuan pribumi melintas di halaman, melalui kaca spion tengah. Namun, kembali dia mengerang dan mencengkeram kain seragamnya di ulu hati. Rasa menusuk kembali dia rasakan.

Yuuto buru-buru keluar dari mobil. Kali ini dia tidak bisa menahan mualnya. Laki-laki itu kemudian berlari ke bawah pohon waru, membungkuk untuk memuntahkan isi lambungnya.

Setelah puas mengeluarkan semuanya, Yuuto mengusap bibir dan kening yang dibanjiri peluh tipis. Dia kemudian bergegas masuk untuk menemui Kenta.

Sejurus kemudian, suara sepatu lars yang menapak lantai dingin, menggaung di sepanjang lorong yang ditempeli berbagai ornamen khas negeri Sakura. Lukisan propaganda : "Nippon Tjahaja Asia" yang ikut memeriahkan interior gedung, membuat Yuuto kembali menghentikan langkah sejenak untuk mengagumi karya seni itu.

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang