Langkah Menik tergesa. Jantungnya berderap kencang mendapat perlakuan tentara Jepang yang mengenakan kerudungnya. Sebenarnya, dia ingin segera keluar dari tempat itu. Tetapi, keranjangnya masih penuh, sehingga dia terpaksa harus membagikan bungkusan makanan itu ke setiap ruangan di sayap kiri, agar tugasnya segera selesai.
Begitu selesai, Menik bergegas keluar. Kakinya terhenti di ujung serambi. Hampir saja Menik melupakan hal yang penting, padahal dia sudah berada di depan pintu.
"Ya Allah! Uang aye!" Menik menepuk dahinya keras.
Dia berbalik, masuk lagi, menuju ruang bagian keuangan.
"Selamat siang …." Kepala Menik menyembul dari balik pintu ruangan. Bibirnya memberikan cengiran lebar.
"Nik, gue pikir lu lupa uang makan hari ini," kata seorang perempuan Indonesia yang bekerja di Sendenbu. Nori juga merupakan anggota fujinkai, yang April lalu diubah namanya menjadi Barisan Srikandi.
"Kagak lah, Mpok." Menik masuk ke dalam ruangan dan berdiri di depan meja Nori. "Bagaimana bisa lupa sama duit?"
Nori, perempuan Betawi dari Penjaringan itu terkekeh. Dia menarik laci dan mengambil lembaran uang rupiah terbitan Jepang. "Lu biasanya langsung nagih. Heran gue tiba-tiba lu pergi begitu aja."
Menik hanya menarik bibir lebar. Kekalutannya terlupakan saat melihat lembaran uang yang dihitung Nori.
"Oh, ya, Nik. Menik, yang lu kata artis Sinar Kejora idola enyak lu ntu bakal manggung di mari. Gue udah mintain satu undangan buat lu."
Mata Menik membulat. "Betulan, Mpok?"
"Iya. Ini sekalian. Manggungnya besok Rabu. Lu bisa ajak lakik lu." Nori menyodorkan beberapa lembar uang dan selembar undangan.
Menik mengambilnya dengan wajah semringah. Dia tak menyangka akan menonton pertunjukan opera salah satu artis kenamaan Sinar Kejora, sebuah kelompok seni keliling yang sangat disukai oleh enyak Menik. Dulu katanya, Enyak memberi nama 'Menik' karena Enyak sangat suka dengan artis cantik dari Yogyakarta itu. Kata Enyak, dia berharap supaya Menik bisa secantik dan mempunyai peruntungan yang bagus seperti Raden Ayu Menik Astuti.
"Terima kasih, Mpok. Aye seneng banget. Akhirnya bisa lihat Menik."
Kali ini Menik keluar dengan wajah bersinar. Selama perjalanan menuju kampung pinggiran yang tersembunyi oleh kilau pemukiman elite yang didirikan sejak era Kolonial, untuk memberikan beberapa nasi bungkus yang sengaja dia buat lebih, senyumnya tetap melekat.
Udin melirik ke arah Menik. Kepalanya meneleng, mengamati Menik yang senyum-senyum sendiri.
"Neng, Mang Udin lihat, dari tadi wajah Neng Menik semringah banget. Dapat bonus, ya?" Mang Udin, lelaki berusia tiga puluh tiga tahun dan belum menikah itu, memberanikan diri bertanya.
"Iya, Mang. Dapat bonus undangan. Besok Rabu aye mau nonton Menik artis Sinar Kejora ntuh." Menik kembali melongok ke dalam keranjangnya yang sudah kosong, untuk memastikan undangannya masih aman di situ.
"Wah, senang sekali! Bukannya yang dapat undangan pertunjukan di Sendenbu bukan orang biasa, ya? Suami Eneng bukannya dulu kerja di sana? Pasti sering ajak Eneng nonton." Udin menghentakkan tali kekang untuk memacu kuda berlari lebih kencang.
"Kagak sering juga. Cuma sekali. Itu sewaktu melihat pertunjukan Farida Ainur yang bininya orang Jepang ntuh," kata Menik sambil menepuk keranjang di pangkuannya.
"Iya, tuh. Bagus suaranya. Mang Udin suka dengar lagunya di radio. Cuma … kenapa dia mau-maunya jadi bini orang Jepang? Banyak tuh bangsawan sama petinggi lokal yang suka sama dia kalau dia mau. Dia berasa kaya antek Dai Nippon," kata Udin memberi pendapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...