12. Merasa Sendiri

1.5K 307 30
                                    

Hai, Deers! Akhirnya Menik update lagi. Semoga tetep ditunggu yes. Jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya ya ^.^

💕💕💕

Buntalan itu jatuh. Menik dan Yuuto menoleh, melihat laki-laki berperawakan cukup tinggi dengan kulit kuning, menatap mereka.

"Joko-san?" Yuuto meneleng. Dia mengenal shodanco PETA itu karena sering berkunjung ke markas PETA di Jaga Monyet. 

Menik menatap bergantian dua laki-laki di depannya. Yang satu matanya sipit dengan tatapan tajam. Yang lain matanya belok dengan sorot sengit.

"Ada perlu apa Kagami-sensei kemari?" tanya Joko lagi. Dia melangkah mendekat, masih memperhatikan Yuuto. Joko memanggil Yuuto tanpa memanggil pangkat kemiliterannya sesuai keinginan laki-laki itu.
"Ano—"

"Kagami-sensei adalah salah satu pelanggan aye." Menik memotong ucapan Yuuto. Yuuto mengernyit, tapi justru Menik mengedip dan tersenyum lebar yang aneh.

"Ha … hai." Yuuto menjawab. Mengiyakan ucapan Menik. Walau begitu, dia tidak berbohong karena memang Yuuto suka makanan yang ditawarkan Menik.

Sementara itu, Joko justru mencium sesuatu. Melihat dari ekspresi dan reaksi keduanya, Joko menjadi sangsi. Di ruangan itu sepi. Tidak ada pelanggan. Di depan juga tak didapatinya papan tulis menu yang dijual hari ini. Itu artinya warung sudah tutup. 

Melihat kecurigaan Joko, Menik segera memutar otak mencari alasan. Dia justru melirik buntalan yang tergeletak di lantai. Dia takut Joko tahu ada seragam perwira Jepang di buntalan itu. 

Ah, untuk apa takut? Menik tidak berbuat salah. Hanya saja, Menik khawatir Joko berasumsi lain. Hanya Joko yang tidak menyalahkannya atas tragedi yang terjadi pada Asman dan Ripto. Berbeda dengan keluarga Ripto yang justru membuatnya semakin tertekan.

"Dasar pembawa sial! Dari awal aku wis ndak setuju kalau dia sama perempuan Betawi itu!"

Ucapan ibu mertuanya saat mendengar kabar Ripto ditangkap Jepang, kembali terngiang di kepala Menik. Setelah itu berjejalan ingatan di otaknya, ucapan kasar keluarga besar Soerabadja yang membuat Menik tertekan. 

Hanya Joko ….

Hanya Joko yang mengatakan bahwa Menik tidak bersalah. Hanya Joko yang mempercayai bahwa dia bukanlah pembawa sial seperti yang dituduhkan keluarga Ripto yang datang dari Jawa Timur hanya untuk mencercanya.

"Papannya sudah tidak ada. Bukannya sudah tutup? Biasanya kamu beres-beres setelah tidak ada pelanggan." Joko mengamati ruangan dengan tiga meja di setiap sisi dinding yang dipasangkan dengan bangku kayu panjang. Bahkan kursi kayu itu sudah ada di atas meja, dengan posisi terbalik.

"Iya. Baru saja tutup. Saya datang. Kecewa." Yuuto berkata dengan patah-patah. Tiba-tiba otaknya susah sekali mengalirkan kalimat bahasa Melayu.

"Iya. Kagami-sensei sudah mau pulang." Menik berjongkok, mengambil bungkusan itu dan menyerahkan pada Yuuto. "Ini. Barang anda jatuh."

Yuuto membungkuk sedikit saat menerima bungkusan dengan tatapan nanar. Walau dengan cara halus, dia tahu Menik mengusirnya. Akhirnya Yuuto mengalah. Dia meminta diri dan pergi dari situ tanpa diantar oleh tuan rumah. 

Sementara itu, Menik masih berdiri terpaku di tempatnya. Dia tidak bisa mengalihkan pandangan dari punggung tegap yang menjauh. Rasa bersalah menyusup karena Menik mengusir Yuuto seolah laki-laki Jepang itu adalah penjahat yang tidak selayaknya ada di warungnya. Padahal, Yuuto sering menolongnya. Tangan kekarnya yang kasar sering menopangnya saat dia akan jatuh, dari awal pertemuan mereka. 

“Nik, koen ga ono hubungan karo wong iku, to (Kamu tidak ada hubungan dengan orang itu, ‘kan)?”

Menik mengerang frustasi. Dia memang paham bahasa Jawa karena sejak Ripto menjadi kekasihnya dua tahun lalu, Ripto selalu mengajarkan bahasa Jawa dengan logat Jogja yang halus dan Surabaya.

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang