27. Desas-desus

1K 240 37
                                    

Hallo, Dee datang lagi. Selamat Idul Adha untuk yang merayakan. Semoga kalian terhibur. Jangan luoa ramaikan yak

💕💕💕

“Menik! Kamu dari mana saja?” Sergahan Joko menyambut Menik yang baru saja datang pagi itu. Satu tangannya menjinjing keranjang anyaman bambu yang sudah diisi dengan beberapa bahan mentah untuk dimasak dan dijual nanti.

Menik tersenyum sambil meletakkan keranjangnya di atas meja panjang. Walau masih pagi, keringat Menik sudah bercucuran membasahi baju kebayanya. Dia meraih gelas belimbing lalu menuang air dari kendi tanah liat.

“Aye dari pasar. Kenapa?” jawab Menik setelah berhasil meneguk segelas air. Dia memang tidak berbohong. Sewaktu dia pergi meninggalkan kediaman Edogawa, Menik memutuskan untuk langsung mampir ke pasar.

“Aku menunggumu sepanjang malam! Kamu tidak pulang!” Raut Joko masih sangat masam. Suaranya sudah meninggi satu oktaf hingga membuat Lela berdiri membeku sambil memegang sapu.

“Maaf. Aye ada perlu.”

“Perlu apa? Perlu apa sama Edogawa-dono yang tukang gali lubang perawan?” Kini wajah Joko sudah memerah, tak bisa menahan kemarahannya lagi.

Menik masih duduk di tempatnya, menatap nanar Joko yang meluapkan amarahnya. Dia tidak berusaha membela diri, ataupun mengiyakan. Lagipula, Menik sendiri yang memutuskan mau diajak ke kediaman Edogawa.

“Maaf. Aye janji kagak bakal terjadi lagi hal seperti ini.” Menik mengembuskan napas panjang. Sorotnya tampak sendu. Walau senyumnya menghiasi bibir, tetap saja hatinya tidak bisa berbohong.

Joko kemudian mengalah. Dia lalu duduk di sebelah Menik dan membelai anak rambut yang menjuntai acak menutupi pipi yang tak setembam dulu. “Maaf. Aku hanya mengkhawatirmu, Nik.”

“Aye tahu. Kali ini aye janji kagak akan bikin Bang Joko khawatir lagi.”

Satu detik kemudian, tubuh Menik yang terlihat sedikit susut itu sudah direngkuh oleh Joko. Dia berbisik pelan. “Aku khawatir nasibmu sama dengan Asih. Walau nasibnya lebih baik daripada para perempuan yang dibawa ke ianjo, tetap saja harga dirinya direndahkan seolah dia barang. Bahkan keperawanannya dilelang dan dihargai dengan uang. Sekarang untuk mengeluarkan Asih, Udin tidak mampu.”

Mata Menik terpejam. “Nasib lebih baik? Apakah menjadi pelayan kebutuhan biologis laki-laki di Kalijodo itu nasibnya lebih baik?”

“Setidaknya … mereka masih dianggap manusia. Tidak seperti di ianjo yang memperlakukan perempuan seperti anjing di musim kawin.”

Menik bergidik, lalu menarik badannya. “Bang, kapan perang berakhir? Sepertinya tak hanya kita saja yang menderita. Orang-orang Dai Nippon pun pasti menderita.”

Joko tersenyum miring. Dia menyandarkan punggungnya di meja yang terletak di belakangnya. “Perang akan berakhir … jika Dai Nippon minggat dari bumi Indonesia!”

Mendengar ucapan Joko, hati Menik mencelus. Bila Dai Nippon pergi dari negeri Zamrud Khatulistiwa ini, lalu bagaimana dengan hatinya. Bagaimana dengan Yuuto?

Menik kemudian menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya, seiring dengan keputusan bulat yang akan dia ambil.

Ya, aku harus melupakan Yuuto Kagami.

***

Hidup Menik kembali bergulir. Seperti dulu. Sewaktu Yuuto tidak ada di dalam hidupnya. Dia ingin kembali hidup tenang, di tengah situasi dunia yang meradang. Bagi Menik, biarlah penguasa berperang, asal dia masih bisa makan dan mengumpulkan uang untuk dikirim ke kampung, itu saja sudah cukup.

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang