Seneng banget liburan! Pada kemana nih, Deers? Besok harpitnas buat yang lima hari kerja. Biar semangat di sore hari ini, Dee mau kasih cerita ini buat kalian. Jangan lupa vote n komen ya.
💕💕💕
Rahang Menik seolah ditarik oleh gravitasi hingga mulutnya menganga lebar. Dia terkejut mendapati seorang laki-laki berseragam tentara berdiri di rumahnya. Tak hanya itu, laki-laki itu kini basah kuyup dari atas hingga bawah.
"Ano ... bau apa ini?"
Manik mengerjap mendengar pertanyaan laki-laki itu. Haruskah dia menjawab?
"Ini ... air apa?" tanyanya lagi sambil mencari sumber aroma tak sedap itu.
"I ... itu?"
"Mpok, baskom cucian di mana ye? Lela mau nyiram halaman. Sayang kalau dibuang!"
Seruan Lela membuat Menik berdecak sambil memejamkan sebelah mata. Dia memalingkan wajah tak berani menatap lelaki Jepang yang terlihat lebih jangkung dibanding temannya yang lain. Sungguh, kali ini Menik berdoa agar Lela tidak keluar dan mengomelinya karena mengangkat baskom itu sendiri.
"Mpok, kok baskomnya ada-"
Menik lalu bergegas menghampiri Lela dan menangkup mulut gadis itu. Bibirnya komat-kamit walau mulutnya terlihat tak bergerak. "Lu ke belakang!"
"Tu ... pi ...."
Menik memelotot dan mendorong Lela ke dalam. Dia memberikan senyum aneh karena merasa bersalah. Apalagi melihat laki-laki itu melepas atasan cokelatnya hingga menguak otot liat berkulit kuning yang tercetak karena kaus putih ketatnya basah.
Laki-laki itu mendatangi Menik dan tiba-tiba tangannya menjulur menyampirkan baju dril di pundak Menik yang bertengger tali kutang hitam.
"Jangan keluar seperti ini. Walau katanya kamu janda, tapi tubuhmu bisa mengundang mangsa." Laki-laki itu menyelubungi tubuh Menik hingga dia tampak seperti orang kedinginan.
Menik menunduk. Dia masih bisa mencerna kalimat dalam bahasa Melayu yang terdengar aneh, tapi cukup lancar. Seketika wajah pucat digusur rona pekat. Dia teringat telah melepas kebayanya sewaktu mencuci piring. Kini Menik hanya membisu. Tubuhnya kaku. Tangannya mencengkeram kuat atasan laki-laki yang belum dikenal namanya itu, seperti sesuatu yang berharga.
"Yuuto, kamu tidak sabar sekali!"
Menik menoleh. Menatap Kenta dan seorang pribumi yang sering dia lihat di Sendenbu.
"Nani ka mondai ga arimasu ka (Apakah ada yang salah)? Kenapa basah seperti ini?" Lalu Kenta menutup lubang hidungnya dengan telunjuk. "Bau apa ini?"
"Gomennasai (Saya minta maaf)!" Menik membungkuk dalam. Seketika dia kalut mengingat kecerobohannya. Bagaimana kalau laki-laki itu marah dan meminta Kenta untuk memutus pesanan nasi bungkusnya?
"Daijobu (Tidak apa)." Lelaki itu menegakkan tubuh Menik. Seketika tubuh Menik bergetar karena ada laki-laki Jepang yang menjamahnya. Apakah dia akan dihukum dengan dijual untuk melayani nafsu bejat para tentara? Atau diserahkan ke kempetai untuk dianiaya?"
"Gomen ...." Suara Menik bergetar. Dia menunduk ketika tubuhnya sudah kembali tegak. Kini kakinya terasa lemas seperti jeli. Sementara itu detakan jantung karena didera rasa was-was menggedor rusuk-rusuknya.
Laki-laki itu menarik dagu Menik. Dia tersenyum hingga membuat kerjapan mata panas Menik meloloskan air matanya. "Aku terima maafmu. Sebagai gantinya, buatkan aku makanan."
Walau pandangannya kabur karena bola matanya tertutup air mata, tapi Menik bisa melihat senyum ramah yang tak pernah dia lihat selain Kenta. Namun, berbeda dengan senyum atasan suaminya itu, tarikan bibir laki-laki yang dia tahu bernama Yuuto karena Kenta sempat memanggilnya tadi, terlihat sangat ... manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...