Kuy, yang penasaran cerita ini, moga kalian terhibur. Jangan lupa kasih komen dan vote yak. Tengkyu dukungannya
💕💕💕
Mengetahui Menik sudah kukuh dengan keputusannya, Mak Ipeh dan Lela pun tak bisa melarang. Lela lalu mencari Udin untuk mengantar Menik ke Kampung Sawah siang nanti.
Seperti rencana semula, pada pukul sepuluh pagi, Menik berangkat menuju rumah orang tuanya di Kampung Sawah. Menik hanya berharap dia dapat melanjutkan hidupnya dengan tenang.
Setelah berpamitan, Udin mulai mengayunkan tali kekang kuda. Kereta pun bergerak menjauh saat roda berputar menggilas kerikil jalanan. Sepanjang perjalanan, mereka ditemanin keriuhan suara sepatu kuda yang menapak lincah. Berbanding terbalik dengan kesunyian hati Menik. Tubuh Menik yang bergoyang mengikuti goncangan dokar, sama seperti jiwa Menik yang lesu digoncang arus nasib yang seolah ingin mempermainkannya. Bahkan angin yang berembus, tidak bisa menyejukkan hatinya yang sesak.
Menik melempar pandangan pada deretan sawah di sisi jalan yang dulunya ditanami padi, kini berubah menjadi tanaman jarak. Sejak Nippon datang, aturan untuk menanam jarak, merombak lahan pertanian padi yang subur. Sejak Dai Nippon datang semua berubah begitu cepat, membuat masyarakat yang menderita, semakin sengsara. Seperti halnya kedatangan Yuuto dalam hidup Menik. Sejak Yuuto hadir di hidupnya tanpa dia sadari, lelaki itu perlahan-lahan membuatnya semakin merana.
Seharusnya, sejak kenyataan tenang Ripto terkuak, Menik membenci laki-laki itu Tapi, nyatanya hati Menik tak berubah. Sekuat apapun dia berusaha membenci Yuuto, Menik tahu di sudut hatinya terdalam, ada sepercik cinta yang sudah tertanam. Haruskah Menik mencabut benih cinta yang sudah tersemai subur di batinnya?
Sungguh, Menik tak rela. Walau berakhir nestapa, sekelumit perjalanan hidupnya bersama Yuuto membuat harinya penuh warna. Tanpa Yuuto di sisinya, Menik merasa sepi. Dia takut menatap hari esok suram yang sangat berseberangan dengan cerahnya langit siang ini.
“Neng, Mang Udin perhatikan, Neng Menik kok murung? Ada apa?” Pertanyaan Udin mendistraksi lamunan Menik.
Menik menghela napas panjang. Dia menatap pepohonan yang terlihat seperti berlari ke belakang. “Kagak, Mang. Cuma mikir, kapan perang segera berakhir dan dunia kembali damai.”
“Sabar, Neng. Sebentar lagi pasti keinginan Neng tercapai. Kalau Nippon hengkang dari bumi Indonesia, Mang Udin yakin kita akan sejahtera. Sawah-sawah kembali menjadi permadani hijau, dan kita tidak kelaparan lagi.” Udin menatap ke depan dengan penuh harapan.
“Dai Nippon pergi?” Menik menelan ludah kasar. Dia kembali teringat pada Yuuto. Bagaimana nasib pemuda Jepang itu kalau Nippon benar-benar kalah di perang Pasifik?
“Itu yang Mang Udin dengar dari orang-orang. Menurut informasi Kang Dadang semalam, Jepang sudah mulai tersudut. Bahkan pemerintah militer AD ke 16 dan 25 di daerah Jawa dan Sumatra berencana membentuk badan untuk mempersiapkan kemerdekaan kita. Sepertinya mereka mau menepati janji membebaskan Indonesia.”
Menik menggigit sudut kiri bibir bawahnya. Sebagai bagian bangsa Indonesia, seharusnya Menik ikut senang dengan berita tersebut. Tetapi, nyatanya, hatinya malah gelisah memikirkan Yuuto.
“Oh, ya, Neng. Mang Udin mau kasih kabar, kalau Mang Udin sebentar lagi mau pulang ke Bandung. Mang Udin mau menikah.”
Mata Menik membeliak lebar. “Menikah? Sama orang mana?”
Udin menggaruk kepalanya. Dia menoleh ke belakang dengan tarikan bibir lebar. “Sama Asih.”
“Loh, katanya Mang Udin susah nebus Asih ke Babah Son?” Menik menelengkan kepala, penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...