47. Titik Terendah

1K 233 11
                                    

Raungan lokomotif yang memekakkan telinga seolah ingin menjeritkan batin Menik yang merana. Sosok Yuuto semakin lama semakin kecil dan perlahan menghilang ketika kereta berbelok mengikuti arahan rel. Menik hanya bisa tergugu mencengkeram handel besi yang ada di ambang pintu.

"Nik, ayo masuk."

Menik tidak menjawab. Separuh jiwanya seolah pergi seperti dulu saat dia melihat raga Ripto kejang dicekik oleh tali malaikat maut.

Mendapati diamnya Menik, Joko memeluk perempuan itu. "Nik … ayo."

Rasanya Menik ingin berlari ke belakang seperti deretan pohon-pohon yang seolah bergerak. Tapi, kaki Menik masih terpaku di tempatnya. Bila Menik berontak, dia tak akan tahu apa yang terjadi dengan hidupnya. Dan Menik takut bila bersama Yuuto dia akan kehilangan ketenangan hidup.

Akhirnya Menik pasrah, mengikuti Joko yang membawanya masuk ke gerbong di deretan bangku tengah. Dia duduk di sisi jendela, menatap hamparan padi menguning yang merunduk seolah ikut prihatin dengan beban hidup Menik.

"Nik, makan gih. Lela tadi sengaja membawakan nasi telur sama sambal." Joko menyodorkan bungkusan daun pisang itu ke depan Menik.

Menik hanya mengeratkan rahang, mengambil nasi bungkus itu. "Lela? Aye belum pamitan sama Lela dan enyaknya."

"Lela sebenarnya ingin mengantar, tapi aku larang, karena dari rumahnya ke stasiun kan jauh. Sementara Udin dan Dadang ke Bandung," jelas Joko dengan suara lembut.

Menik mengangguk lemah. Dia membuka bungkusan itu dan berusaha memakan isinya. Walau pagi tadi hanya terisi sedikit makanan, dia tetap tak merasa lapar. Telur dadar yang menjadi bahan makanan mahal itu tak menggugah nafsu makannya. Namun, untuk menghargai Joko yang membawakan dan Lela yang sudah membuatkan, Menik tetap melahapnya.

Menik menyobek pinggiran bungkus daun pisang untuk membuat suru, lalu menyendok nasi dan telur dadar.

"Nanti setelah sampai di Soerabaja, aku akan meminta Pakdhe Jarot untuk menjadi walimu."

Kunyahan Menik terhenti. Dia menggigit bibir yang bergetar. Air matanya mengalir begitu saja di pipi. Joko yang melihatnya, mengernyitkan alis lalu bertanya, "Nik, koen lapo nangis (kamu kenapa menangis)?"

"Pedes. Kenapa Lela bikin sambalnya pedas sekali ya?" Menik menyeka pipi dengan punggung tangannya. 

Joko mencolek sambal di jatah bekalnya dan mencicipi. "Ora pedes (Tidak pedas)," jawab Joko dengan kernyitan alis.

Namun, akhirnya Joko paham kalau Menik cuma berdalih saja. Dia hanya bisa mengembuskan napas pelan. Menik memang sudah ada di hadapannya tapi hatinya terasa jauh. Jiwa Menik seolah tertinggal di Djakarta. Padahal keinginan untuk mendapatkan Menik sudah ada di depan mata. Tinggal menunggu hitungan hari, Menik akan menjadi milik Joko seutuhnya. 

Joko berdeham, dengan kepalan tangan di depan mulutnya. Ditatapnya dalam-dalam wajah sendu itu. Wajah yang sama saat kehilangan Ripto. Tidak! Bahkan lebih parah. Kalau orang yang tidak tahu, pasti akan menyangka Menik sedang berkabung karena kehilangan suami.

“Nik, kamu … kenapa?” Joko mengusap pipi Menik yang basah.

“Abang … kenapa … kenapa dada aye terasa sesak?” Menik memukul dadanya berulang.

Joko menahan tangan Menik. Hatinya teriris melihat wajah kusut Menik yang terlihat menderita. “Nik, sareh, Nik! Eling! Yuuto itu yang bertanggung jawab atas kematian Mas Ripto!”

Menik menggeleng. “Kagak, Bang. Abang Dokter memang minta tolong Bang Ripto, tapi dia kagak sepenuhnya bersalah. Aye juga ikut salah, Bang! Aye yang bikin Abang Ripto ditangkap. Seandainya Abang Asman dan Abang Ripto terus terang kalau aye yang ambil kunci gudang, pasti semua ini kagak bakal terjadi!”

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang