"Mpok, ini makanannya diapakan?" Sudah kali ketiga Lela menanyakan hal sama kepada Menik saat dia masuk ke dapur.
Menik menghela napas, menatap makanan sisa malam ini. Jarum jam dinding sudah menunjukkan angka delapan. Nasi di bakul sudah dingin karena sudah satu jam tak terjamah. Sop dan tempe masih tersisa 3 potong.
"Mpok ...?"
"Kasih ke anaknya Bang Eman saja, La. Tuan Dokter paling kagak datang."
Keesokannya harinya pun, Menik masih menunggu dengan membuka pintu dapur walau malam sudah beranjak larut. Namun, yang dia dapat tetaplah kekecewaan karena tidak mendapati sosok Yuuto yang tersenyum lebar menyembul dari balik pintu dapur seperti biasanya.
Udara panas akhir bulan Oktober di tahun 1944, semakin membuat gerah hati Menik. Sedari pagi, Menik terlihat tidak fokus dengan pekerjaannya. Dia lebih banyak melamun, memikirkan Yuuto yang tiba-tiba menghilang begitu saja sejak dua minggu lalu.
"Mpok, telurnya belum dipotong!" Untuk kesekian kali, Lela menegur Menik.
Menik mengerjap sambil menatap nanar piring berisi nasi gudeg yang dipesan seorang pelanggannya. "Duh Gusti, La! Untung lu ingatkan."
Lela mendengkus. Dia mengambil alih pisau yang mata pisaunya dipegang Menik ke atas. "Mpok istirahat saja. Biar Lela yang teruskan."
Sepertinya Lela benar. Dia butuh istirahat. Ketiadaan Yuuto hampir dua minggu ini membuat pikiran Menik kacau. Setelah mengajak berjalan-jalan ke kampung pinggiran Menteng, Yuuto tak ada kabarnya lagi. Bahkan Kenta pun enggan memberi tahu keberadaan Yuuto.
Rupanya kegelisahan Menik, juga ditangkap oleh Joko. Laki-laki itu kini duduk di pinggir ranjang untuk memeriksa Menik yang katanya berbaring saja sejak siang tadi. Padahal suhu tubuh Menik terasa normal. Tak menunjukkan adanya tanda demam.
"Nik, kamu kenapa? Aku lihat akhir-akhir ini kamu murung."
Menik yang tidur menyelubungi tubuh dengan selimut itu hanya menggigit bibirnya erat. Dia ingin bertanya pada Joko apa yang terjadi pada dokter militer itu. Hanya saja, Menik takut Joko akan marah dan menganggapnya pelacur Jepang.
Sementara itu, Joko mengelus lengan Menik, gadis yang diam-diam dia suka saat Ripto mengenalkan padanya. Tidak biasanya, Menik bermuram durja hingga seperti anak kecil yang merajuk. Menurut informasi yang Joko dapat dari Lela, Menik terlihat aneh sejak Yuuto tak lagi datang ke warung mereka.
"Nik, kamu ... khawatir sama Letnan Kagami?"
Menik mengeratkan rahang, tidak ingin mengakui bahwa dia tidak hanya sekedar khawatir tapi juga rindu.
"Nik ...." Joko menyibak paksa selimut Menik dan mendapati punggung Menik yang menghadap ke dinding semakin bergetar hebat. Saat menarik tubuh itu agar memutar menghadapnya, Joko terperangah melihat penampakan Menik yang kacau-rambut yang acak-acakan, wajah yang basah tertutup kedua telapak tangan. Joko yakin air itu bukan sekedar keringat tapi juga air mata.
Batin Joko tercubit. Dia ingat sekali kondisi Menik ketika ditinggal Ripto. Tangisnya tidak meraung, tapi air matanya tidak berhenti meleleh. "Nik, kamu ... kenapa?" Walau Joko bisa menyimpulkan bahwa apa yang dialami Menik ada hubungannya dengan lelaki Jepang itu, tapi hatinya berusaha mengelak.
"Aye ... aye ... kagak apa-apa, Bang. Abang keluar saja." Menik berbalik memunggungi Joko.
"Letnan Kagami ... dia ditangkap Kempetai. Kamu tidak usah berurusan dengan dia. Dia menjalani penyidikan dan menjadi saksi untuk kasus sabotase vaksin." Joko memberikan kabar yang dia tahu tentang kasus yang sedang hangat diperbincangkan di berbagai kalangan. "Nik, jauhi Letnan Kagami! Dia ... dia itu Dai Nippon! Dia yang menjajah bangsa kita! Kalau kamu tidak memutus perasaanmu secepatnya, kamu yang akan hancur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...