16. Tertekan

1.3K 285 44
                                    

Agustus, 1944

Sudah dua minggu ini, Yuuto melakukan vaksinasi TCD pada romusha Klender. Satu persatu korban mulai berjatuhan. Tak hanya di kamp romusha Klender, Yuuto juga mendapat kabar bahwa ada 561 romusha yang dikirim ke Palembang, 177 orang di antaranya terjangkit tetanus dan 128 orang meninggal. Dugaannya semakin beralasan. Dia merasa pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan vaksin tersebut.

Usahanya untuk menghentikan pemberian vaksin dengan alasan ujicoba terselubung, membuatnya bersitegang lagi dengan Yoji. Yoji Nishimura menganggap Yuuto terlalu lembek dan perasa, padahal Yuuto seharusnya bangga karena dipercaya negara menjadi bagian tim medis elite di unit rahasia 731. Tidak semua dokter bisa menjadi dokter militer, apalagi dokter unit 731. Namun, walau bagi kebanyakan orang pekerjaannya adalah sebuah kebanggaan, nyatanya Yuuto berpikir sebaliknya. Dia jengah, karena pekerjaannya berseberangan dengan hati nuraninya.

"Yuuto-kun, percuma kamu menolak dengan menjadikan laporan kasus sebagai dasarnya. Pemberian vaksin ini tetap akan dilakukan." Yoji duduk menopang kaki kanannya di depan meja kerja Yuuto.

"Vaksin ini sudah merenggut banyak korban jiwa. Di tengah peperangan seperti ini, aku yakin tindakan pemerintah Dai Nippon bisa menjadi kejahatan perang. Kalau kita kalah—"

"Yuuto!" Yoji memelotot tajam. "Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu? Kalah? Tidak mungkin! Kita sudah menguasai daerah Asia! Hindia Belanda yang kaya bahan tambang juga sudah ada di tangan kita!"

"Begitukah?" Yuuto mendengkus dengan senyum miring, meremehkan ucapan Yoji. "Asal kamu tahu … kita akan kewalahan melawan Amerika. Negara kita akan terpuruk bila perang ini berlanjut. Kita sudah membangunkan macan tidur dengan menggempur Pearl Harbour."

Gebrakan meja kayu menggema di ruangan pengap milik Yuuto. "Bisa-bisanya seorang perwira Rikugun berkata seperti itu? Kamu juga anak petinggi Kempetai! Kalau kedengaran orang luar, mereka akan menganggapmu pengkhianat!"

"Bunuh saja aku! Daripada aku hidup seperti ini!"

"Kamu tidak tahu terima kasih, Yuuto!" Yoji mengambrukkan punggungnya di sandaran punggung kursi.

"Kamu tidak tahu betapa kejamnya unit rahasia. Kamu tidak tahu … malam-malam mencekam karena dihantui rasa bersalah membunuh orang-orang tidak bersalah. Anak-anak, perempuan, orang lanjut usia … teriakan mereka memenuhi kepalaku, hingga rasanya aku bisa gila!" Yuuto menatap nanar Yoji yang menjadi pendengar setianya.

Yoji mendesah. Dia bangkit dari duduknya. "Apapun yang kamu rasakan, telan kembali. Jangan sampai terucap sehingga kamu dianggap pengkhianat. Kamu bisa bercerita padaku, tapi jangan ke yang lain. Hanya ini yang bisa aku lakukan sebagai teman baikmu. Selanjutnya … bila terjadi sesuatu, aku tidak bisa menolongmu." 

Yoji mengenakan topinya. Sebelum beranjak ke luar, dia kembali berbalik. "Pastikan vaksin itu habis. Aku akan melaporkannya pada Djawatan Kesehatan Djakarta dan Rikugun Gun'i-bu (bagian medis AD) tentang pelaksanaan imunisasi ini."

Yuuto hanya bergeming dengan kepalan tangan yang kuat hingga buku jarinya memutih. Dia menatap kosong tumpukan kardus di depannya. Batinnya berontak. Antara menaati perintah atau menuruti kata hati. 

Malam ini, saat makan malam, lagi-lagi Yuuto tidak punya nafsu makan. Dia memilih menghabiskan waktu dengan minum sake di rumah bordil bersama Kenta.

"Kamu tidak mau tidur di sini? Ada perawan yang sudah aku beli tadi. Aku rela mengalah demi kamu." Wajah Kenta sudah merah karena mulai mabuk. Sementara itu, di sebelah Kenta, ada perempuan cantik dari Bandung yang menempel sambil menyuapinya dengan kue cucur.

"Aku tidak suka tidur dengan …" Bola mata Yuuto  melirik ke arah perempuan cantik yang sedari tadi ditolaknya mendekat. "perempuan bukan istriku."

Tawa Kenta meledak. "Sou … sou … (ya, ya), Yuuto hanya tidur dengan buku-bukunya."

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang