50. Hari Kelabu

1.2K 294 121
                                    

Hulla, Deers! Aku update lagi. Semoga terhibur. Karena ngebut, aku minta dicekin typonya yak. Semoga nggak terlalu banyak. Semoga terhibur. Jangan lupa jejaknya.

💕💕💕

"Menik … Menik …."

Menik membuka mata lebar-lebar. Dadanya kembang kempis dengan pandangan kosong menatap langit-langjt. Semalam dia merasa bermimpi buruk. Sangat buruk.

Yuuto meninggal? Yuuto Kagami meninggal? Menik tak percaya, tapi memang begitu adanya.

Menik mengeratkan rahangnya, berusaha menguasai diri. Dia mencubit paha kuat-kuat dan saat merasakan sensasi nyeri yang menyengat, baru dia pahami bahwa semua bukan mimpi.

Joko datang, bukan mengabarkan berita suka cita, tapi mengantarkan kabar duka. Berita tentang kepergian Yuuto.

Mata Menik terasa panas. Namun, dia enggan menangis. Sudah lama dia tak menumpahkan air mata, dan sepertinya hari ini bukan hari yang pas untuk berkabung mengingat keberhasilan penyerbuan ke markas dengan kekuatan militer besar di Soerabaja itu membuat rakyat pribumi bersorak sorai.

"Abang, kok Abang di sini?" tanya Menik sambil menegakkan tubuh. Dia mengusap kasar wajahnya.

"Ehm, aku minta izin sama Pak Haji buat jaga kamu, Nik. Semalam kamu pingsan begitu dengar kabar …." Hati Joko tersayat. Tanpa Menik ungkapkan, sorot mata itu berselimut kabut perkabungan. Persis saat Menik kehilangan Ripto.

"Abang Yuuto meninggal?" Menik menyahut.

Joko mengangguk.

"Abang pulang saja. Aye nanti akan ke rumah Abang. Pasti Abang lelah sekali setelah bertempur." Menik turun dari tempat tidur. Dia bersikap biasa, seolah menyambut pagi seperti hari yang lain.

Walau sebenarnya hati Menik hancur mendengar kabar itu, Menik paham bahwa hidupnya terus berputar. Satu bulan lebih ini dia bisa hidup tanpa Yuuto, walau setiap malam dia masih dibayangi wajah Yuuto dan merindukan kehangatan pelukan lelaki itu. Setidaknya meski berpisah, Menik masih bersyukur Yuuto bernapas di suatu tempat.

Tapi kini …

Yuuto pergi. Lelaki itu meninggalkan dunia yang membuatnya lelah karena terlalu banyak peperangan. Hati lembut yang dibalut raga kekar itu tak mampu mengikuti idealismenya yang menjunjung kemanusiaan.

Ah, mungkin memang ini yang terbaik. Lelaki baik itu sudah sepantasnya pergi karena Tuhan menyayanginya.

"Nik …." Joko memeluk Menik yang sedang melipat selimut dari belakang. Lelaki itu menyandarkan dagu di bahu Menik. "Kalau kamu menangis, menangis saja."

Menik tersenyum tipis. Dia meremas selimut itu dengan keras untuk meredam gejolak perih di batin. "Untuk apa aye nangis? Seperti dulu aye bilang, mau nangis seperti apa, air mata kita kagak bakal menghidupkan orang mati. Anne pergi, Bang Ripto pergi … Yuuto-kun akhirnya juga pergi. Kalau aye menangis, justru akan membuat jalan mereka terseok."

"Kamu cinta Yuuto, Nik?" tanya Joko.

Menik menelan ludah dengan kasar. Bila harus jujur, dia ingin berteriak mengumumkan pada dunia bahwa dia sangat mencintai lelaki Jepang yang selalu melindunginya dan selalu ingin menjamin kehidupan tenang untuknya. Keputusan Yuuto untuk tidak mengikuti naluri primitifnya malam itu, justru semakin mengikat kuat perasaan Menik pada sang pemuda.

"Cinta?" Menik menggumam. "Untuk apa bertanya itu? Bukankah lamaran Abang aye terima?"

"Nik …." Joko semakin merana. Semakin Menik tak menjawab, justru Joko tahu seberapa kuat perasaan Menik. Joko kemudian membalikkan tubuh Menik. Dia mengangkat dagu perempuan itu dan perlahan mendekatkan wajahnya.

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang