Hallo, Dee datang lagi. Semoga bisa menghilangkan penat di hari libur ini. Jangan lupa kasih komennya, ya!
💕💕💕
Menik terbangun di sebuah ruangan lembab dengan tumpukan kardus kayu di sudut ruangan. Bau pesing menusuk hidung Menik begitu kesadarannya diraup. Sambil meringis, memegang pelipis dengan jari jempol dan jari tengah, dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Otaknya berusaha mengumpulkan informasi kenapa dia sampai berada di tempat asing ini.
Tadi ... ada centeng kurus. Dia berusaha membawaku! Lalu aku lari dan .... Sekuat tenaga Menik mengingat apa yang terjadi setelah itu, tetap saja hasilnya nihil. Ingatannya terputus sampai saat dia lari dan masih sempat melihat dokar Kang Dadang.
Di mana aku?
Di saat Menik sudah bisa menegakkan tubuhnya, derik pintu terbuka. Matanya membeliak ketika melihat sosok yang masuk ke dalam ruangan itu.
"Yuuto-kun?"
"Menik-san, kamu tidak apa-apa?" Yuuto segera menghampiri Menik yang meringkuk di sudut ruangan beralas kain.
"Apa yang terjadi? Di mana ini?" Suara Menik bergetar.
Yuuto menurunkan badan, bertumpu dengan lutut kanannya. Dia menarik tubuh Menik ke dalam pelukannya. "Untung aku datang tepat waktu. Kalau tidak ... aku pasti akan semakin gila."
Menik menghidu wangi maskulin yang sangat familiar. Aroma tubuh Yuuto yang khas selalu mampu membiarkan ketenangan di jiwa, di saat hati Menik sedang kalut. Yuuto tak ubahnya obat penenang batin yang bergemuruh. Terlebih kecupan Yuuto di pucuk kepalanya, mampu mengalirkan kenyamanan yang membuat Menik lupa akan kejadian nahas yang hampir saja terjadi.
Didorongnya pelan badan Yuuto, sehingga kali ini Menik bisa melihat langsung wajah yang seminggu lalu dia tinggalkan dalam kondisi tidur lelap. Menik lega karena rona wajah Yuuto kembali pulih. Bahkan pipi lelaki itu sudah mulai terisi dengan lemak. Itu berarti Yuuto sudah bisa makan dengan baik.
Tanpa kehadirannya ... tanpa makanan yang Menik masak ... rupanya Yuuto bisa hidup dengan baik. Berkebalikan dengannya. Tanpa Yuuto, hati Menik hampa. Tak ada Yuuto, Menik tidak tahu untuk siapa dia akan memasak.
Konyol sekali lu, Menik! Untuk apa lu merasa bahwa Yuuto paling suka dengan masakan lu! Masih banyak orang lain yang bisa memasak makanan yang lebih lezat dari lu!
Tangan mungil Menik tanpa sadar terangkat. Niatnya untuk mengelus pipi yang terlihat kasar karena bulu halus yang tak sempat dicukur itu terhenti. Kumis tipis yang menghiasi wajah Yuuto di atas bibir, membuat lelaki itu terlihat jantan. Menik mengepalkan tangan kuat untuk menahan gejolak rindu yang menggebu.
"Sensei sudah semakin sehat. Syukurlah ...." Getaran suara Menik terdengar seperti cicitan.
Yuuto menangkup tangan Menik yang hendak diturunkan, lalu membawanya ke depan bibirnya untuk dikecup. "Semua berkat kamu."
"Aye? Eh ... Saya? Saya tidak melakukan apa pun." Entah kenapa lidah Menik kelu ketika melihat seragam lengkap Yuuto. Seminggu tak bertemu seolah jurang pemisah antara mereka semakin lebar. Terlebih saat Yuuto pernah mengusirnya, hati Menik terluka karena tersadar perbedaan di antara mereka. Bukan lagi priyayi dan orang biasa. Tetapi penjajah dan pribumi jajahan.
"Kamu memberi aku makan."
"Makan?" Kepala Menik meneleng. Seingatnya, Menik tidak pernah memasakkan Yuuto makanan setelah dia memutuskan pergi dari Yuuto. Sop pecok itu adalah masakan terakhirnya. "Kapan?"
"Setiap hari. Aku meminta Lela-san untuk mengantar makanan ke depan kampung di siang hari." Yuuto kembali mengecup buku jari Menik. Matanya masih menatap lekat Menik yang kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menik (Completed)
Historical Fiction19 Oktober 2022 --> short list The Wattys Award 2022 genre historical fiction 19 Nov 2022 --> Winner The Wattys Award 2022 genre historical fiction Di awal tahun 1944, hari bahagia Menik lenyap, saat dia melihat suaminya dijatuhi hukuman mati di alu...