Penerimaan Diri 🖤

1.3K 134 14
                                    

"ini, kerasa gak?"

"Engga"

"Kalo gini"

"Mmm,,, engga juga"

Bram menghela nafas. Ia kembali duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang Alya. Posisi kursi yang tidak sejajar dengan tinggi ranjang membuat Bram Kepalanya mendongak menatap Alya yang duduk dengan tegak di atas ranjang.

Barusan Bram lagi nyoba buat memberi sedikit ketukan di beberapa bagian kaki Alya. Mencoba menemukan kira-kira apa yang bisa membuat Alya merasakan lagi sentuhan di kakinya. Namun ternyata nihil.

"Parah banget ya" bibir Alya terjatuh.

"Gapapa. Besok-besok kita coba lagi. Oke?" Bram mengacungkan jempolnya.

Lelaki itu memberikan senyum semangat meskipun tak terlihat bagi Alya.

"Kalo besok kayak gini terus, besok nya lagi kayak gini terus. Besok nya lagi juga kayak gini terus gimana ya"

"Kita bakal coba lebih keras lagi!"

Karena akan selalu ada kemungkinan baik yang akan Bram usahakan untuk Alya. Sesuatu yang tidak akan ia sebutkan dalam sebuah janji tapi selalu dilakukan setiap bahkan setiap saat.

Alya meraba pundak mencari helaian rambutnya. Kemudian membawa rambut panjang itu kebelakang.

Sesusah itu sekarang, ingin menyentuh anggota tubuh sendiri Alya harus meraba dan mencari terlebih dahulu. Seolah sedang mencari sesuatu yang jauh disana.

"Sampe kapan coba terus tapi kaki aku nya gak mau respon. Kan capek!" keluhnya dengan cemberut.

Bram bangkit. Mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengikat. Melihat Alya mulai menyingkirkan setiap helaian rambutnya Bram paham kalau gadis itu mulai tidak nyaman.

"Aku pengen bisa jalan lagi" rengeknya.

"Pasti" jawab Bram dengan tenang.

Bram mengambil setiap helaian rambut Alya. Menjadikannya satu kemudian mengikat dengan sebuah tali hitam yang ia temukan di laci sebelah Alya. Pasti Mama Vira yang menyimpan disana, wanita itu selalu siaga meletakkan apa saja keperluan Alya di dekat gadis nya.

"Jangan diiket. Lagi gatel banget belum keramas" Alya menunduk menghindar dari Bram yang hampir mengikat rambutnya.

"Mau keramas?" tanya Bram.

"Mau. Masih nunggu Mama pulang kerja"

Bram meraih ponsel di dalam saku celana. Setelah sebuah ide terlintas dari kepala ia segera meluncurkan aksinya. Mencari nomer seseorang Bram langsung mengetik sesuatu disana.

"Tadi kata dokter apa soal kaki sama mata aku?"

Jeda beberapa saat sampai Bram selesai berurusan dengan ponselnya. Kemudian ia simpan kembali ponsel itu ke dalam saku.

Bram menaruh duduk di atas ranjang disebelah Alya. Ia duduk menghadap ke Alya menatap mata gadis itu meskipun lawan bicaranya tidak melakukan hal yang sama.

Tangan Bram terangkat mengusap lembut wajah Alya. Rindu rasanya saat mata itu tertuju padanya. Rindu rasanya saat mata itu ikut juga tersenyum, marah, kesal dan mengekpresikan semua rasa dari sorot nya.

"Sejauh ini kerusakan--"

"Eypepepssstt ,,,," Alya mencengkeram tangan Bram yang berada di pipinya.

"Langsung ke intinya aja deh, kamu jelasin panjang lebar juga aku tetep gak bakal ngerti" bibir Alya jatuh ke bawah ☹️

Bram tersenyum, menunduk.

"Lupa, pacar gue lemot" Ia menggeleng sambil tersenyum geli.

"Pas Lo kecelakaan otak Lo berantakan sih"

si BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang