Bila menggenggam erat sebuket bunga yang baru saja papanya beli. Senyum Bila mengembang di wajahnya yang sembab. Entah senyum bahagia karena ia bisa bertemu sosok ibu, atau senyum miris yang dipancarkannya.
Bila duduk anteng di kursi penumpang. Disampingnya ada Narendra dengan wajah yang tersirat rasa kesedihan bercampur rindu.
Mobil Narendra berhenti. Ia melepaskan sabuk pengamannya. "Ayo Bila," ajaknya.
Bila masih mematung di tempat. Air matanya sudah kembali berkumpul di pelupuk mata. KATAKAN JIKA SEMUA INI BOHONG!
"Papa?" ucap Bila lirih. Ia sudah menahan tangisnya sekarang.
"Ayo nak." Narendra pun langsung keluar dari mobil, diikuti Bila yang menggenggam buket bunga itu semakin erat.
Bila mengekor di belakang Narendra. Kepalanya tertunduk menatap tanah merah yang ia pijakki, air matanya telah jatuh. Kesempatannya untuk dipeluk sosok ibu hilang sudah.
Dari jarak tiga meter, Bila melihat papanya berhenti di salah satu nisan. Menarik nafas dalam lalu duduk disampingnya.
"Hai, maaf udah lama gak kesini. Kamu apa kabar?" Itulah kata yang dapat Bila dengar.
Bila perlahan mendekat. Ia ikut duduk disamping Narendra. Genggamannya pada buket bunga yang ia bawa semakin mengerat.
"Lihat, aku bawa Bila kesini. Dia udah gede sekarang. Cantik, mirip kamu."
Bila terisak, SIAPAPUN TOLONG KATAKAN JIKA INI BOHONG!
Tangan Narendra bergerak mengelus punggung Bila, menenangkan. Dengan cepat Bila langsung masuk ke dalam pelukan papanya.
"Papa bohong kan!" ucap Bila di tengah tangisannya.
Air mata Narendra ikut terjatuh. Luka dihatinya bak disiram air garam. Perih.
"Nindya. Bunda kamu ninggalin papa lima belas tahun lalu, tepat di hari kalian di lahirkan. Bunda pergi gak sendiri, dia bawa Nadira juga," jelas Narendra.
Bila semakin terisak mendengar penjelasan sang papa. Jadi dirinya yang membuat bunda pergi?
"Kenapa Bila juga gak di ajak, bunda?!" pekik Bila pada makam sang bunda.
"Bila mau ikut bunda! Bila pengen dipeluk bunda!"
"BILA STOP!"
"Jangan pernah bilang gitu nak, kamu punya papa! Kamu gak boleh ikut bunda." Pelukan Narendra mengerat.
Bila terisak disana. "Bila iri sama Nadira, Bila iri sama Zeela. Mereka bisa dipeluk sosok ibu. Sedangkan Bila?" Bila menghela nafasnya. "Mama cuma sayang Zeela. Hari ini Bila dapat fakta jika mama bukan ibu kandung Bila. Dan hari ini juga Bila dapat fakta lagi kalau bunda udah pergi selamanya. BILA CUMA MAU DIPELUK SOSOK IBU PA! GAK LEBIH!"
Narendra dibuat merasa bersalah. "Ada papa nak. Ada papa buat kamu sayang."
Bila menggeleng pelan didekapan Narendra. "Papa sibuk sama kerjaan papa," ucap Bila lirih.
Bila melepas rengkuhan Narendra. Menaruh bunga yang sedari tadi ia pegang di atas pusara sang bunda. Ia menatap nisan tersebut, nama Anindya terukir rapi disana. Jangan lupakan tanggal kelahirannya juga terukir apik dibawah nama Anindya.
"Hai bunda."
"Bunda pergi gara-gara Bila ya? Bila minta maaf ya bunda. Karena kelahiran Bila, bunda," ucapan Bila terjeda karena ia lagi-lagi terisak. "Karena kelahiran Bila, bunda pergi dari dunia ini. Maafin Bila, bunda."
Narendra memegang bahu kecil putrinya. "Hei, bunda pergi bukan karena Bila, sayang."
"Tapi bunda pergi tepat dihari kelahiran Bila pa."
"Enggak nak, ini semua takdir, bukan salah Bila."
Pandangan Bila kosong. Kondisi fisiknya sudah tak karuan, air matanya seolah terkuras habis. Ia menatap nisan kecil di samping makan Anindya. Nadira Sheila Andrianka, kurang lebih begitulah yang tertera.
"Kita selalu berdua di perut bunda, tapi kenapa kamu tinggalin aku? Disana enak ya Dir, bisa dipeluk bunda. Aku iri sama kamu."
Bila lantas memeluk makam bundanya, seolah memeluk sosok yang selama ini ia cari.
"Hihi ternyata gini rasanya meluk bunda. Bila sayang bunda. Bila boleh ikut bunda gak? Bila pengen ikut bunda," ucap Bila pelan. Narendra pun tak mendengar apa yang Bila ucapkan.
Bila masih setia di posisinya. Ia seakan enggan melepas pelukannya pada pusara Anindya.
Narendra hanya bisa melihat ke arah lain. Ia tak sanggup melihat putrinya yang bermonolog dengan makam sang istri.
Hingga ponsel di sakunya bergetar. Narendra mengangkatnya, berdeham singkat lalu mematikannya.
"Bila, udah yuk nak." Narendra menyentuh bahu putrinya, seakan menyuruh Bila bangkit.
"Nanti pa, Bila baru cerita sedikit sama bunda. Masih banyak hal yang belum Bila ceritain."
"Nanti kita kesini lagi sayang. Zeela udah sadar, dia cariin kamu."
"Zeela?"
"Zeela tadi pingsan, sekarang ada di rumah sakit sama mama. Kita kesana yuk."
Bila mengangguk. Ia sangat sayang dengan adiknya itu. Walau Bila sekarang tau, jika ia dan Zeela tak serahim.
"Bila pergi dulu ya bunda. Besok Bila kesini lagi, Bila bakal cerita banyak sama bunda dan bunda harus mau dengerin ya!"
Bila mencium batu nisan itu sayang. "Bila sayang bunda. Dadah bunda, daah Dira!" ucap Bila lalu melangkah dengan ringannya.
Narendra yang melihat langkah Bila yang ringan kembali merasa bersalah. Langkah putrinya seakan tak ada beban, antara memang bebannya sudah hilang atau beban itu terlalu berat ia pikul.
"Maafin papa ya sayang," ucap Narendra melihat punggung kecil itu menjauh.
"Nin, aku pergi dulu ya. Nanti aku kesini bawa Bila lagi. Maaf atas semua kesalahan yang pernah aku buat."
Narendra mencium batu nisan itu persis seperti yang Bila lakukan. "I love you Nindya, tunggu aku disana."
.
.
.Gimana buat part ini? Maaf dikit
See you next part! Papaayyy 💃H-6

KAMU SEDANG MEMBACA
BILA [END]
Teen FictionSEQUEL OF ANINDYA!! ~~ Singkatnya tentang Bila yang ingin dipeluk mama:) ~~ Nabila Sheira Andrianka atau kerap disapa Bila, merupakan anak sulung dari keluarga Andrianka. Bila mempunyai mimpi sederhana, yaitu dipeluk mama. Sedari kecil Bila tak pern...