PROLOG

1.9K 73 3
                                    

"Awakmu wes roh resikone!" (Kamu sudah tahu risikonya!). Suara lelaki mengenakan baju serta celana hitam yang duduk bersila.

Yang diajak bicara mengangguk pelan.

"He!"

Dia juga mengenakan ikat kepala hitam. Sejenak mengulurkan tangan, terlihat meminta sesuatu.

"Ndi, he?" (Mana, he?).

Sang tamu menyerahkan sesuatu.

Aroma kemenyan menyeruak santer sedari tadi. Asap putih yang terus mengepul dari anglo kecil membumbung ke jumantara ruangan.

Pakaian serba hitam sedikit kumal, sedari tadi duduk bersila menghadap meja kecil nan sesak oleh beraneka macam sajen ritual, makin menegaskan kalau dia adalah seorang dukun.

Segera dia menerima sesuatu yang dikeluarkan dari balik baju tamunya.

"He he he," kekehnya seraya menerima selembar kain.

Lalu diciumnya kain tersebut. Hidung besarnya bisa menangkap aroma serta wujud dari balik benda yang ada di tangannya.

"He!"

Lagi-lagi dia mengulurkan tangan. Kali ini dia menatap lekat kepada orang yang datang ke rumahnya,  juga terlihat duduk bersila.

Berbagai jenis bunga sajen menghiasi meja. Paling pinggir, sebuah tempayan kecil dari tanah liat tampak hitam memantulkan cahaya keperakan dari lampu minyak yang tergantung di atas mereka.

Sang tamu yang duduk dalam samar gelap karena tepat berada di bawah bayang lampu gantung kembali mengeluarkan sesuatu dari balik baju. Bukan selembar kain, tetapi sebuah buntalan.

"Ha ha ha."

Melihat itu membuatnya kembali tergelak-gelak. 

"Ha ha ha."

Untaian biji jenitri terangkai dan melingkar hingga menggantung di depan dada yang terbuka, gemeretak saling adu.

Untaian manik-manik kehitaman semakin menegaskan bahwa lelaki ini bukan lelaki biasa jika menilik kalung yang melingkar pula di lehernya.

"Pati pitu memang perlu mahar. Aku percaya kamu memberikan jumlah cukup seperti yang aku sebutkan tempo hari. Ha ha ha!" Diakhiri gelak tawa kepada tamunya.

Dengan segera dia menyembunyikan buntelan itu ke balik baju.

"Siji!" (Satu!).

Dia menunjukkan jempol, tepat di hadapan sang tamu.

Lalu perlahan mereka saling hitung dalam hati. Jari-jari tertekuk adalah tanda bahwa jumlah terus dihitung.

"Cuma ada Lima! Kurang dua!" Terdengar tegas meski setengah berbisik ucapnya.

"Bahaya," imbuhnya.

"Kalau kurang, kamu harus menggenapinya menjadi tujuh. Bila tidak ...."

Dia terdiam sejenak. Bola mata keruh liar bergerak menyapu seantero ruangan.

"Itu risikonya! Kamu bisa menjadi bagian dari tujuh tersebut. Bagaimana, ha?"

Kembali sang tamu yang terlihat jauh lebih muda ini bungkam, tetapi sejurus kemudian ia mengangguk.

Terlihat senyum mengembang lebar. Segera dia bangkit.

Perutnya yang datar ditumbuhi sedikit bulu meranggas sampai pusar, melangkah menuju sebuah meja kecil.

Dengan gerakan menyembah, menyatukan kedua telapak tangan, matanya mulai terpejam sesaat, mulutnya terlihat komat-kamit.

Sang tamu hanya memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Dari bola matanya, terlihat lelaki itu mengambil sebuah keris yang berada di dinding, sebelumnya tertumpuk saling silang.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang