SEMBUH

344 31 1
                                    

Laras masih berdiri di ambang pintu. Ingin sekali dia berpamitan kalau pagi ini dia harus pergi meninggalkan ibunya. 

Baru saja dia berbalik badan.

"Kamu mau pergi, Nduk?"

Laras menoleh ibunya.

"Kalau Ibu tak mengizinkan, Laras tidak akan pergi."

"Ibu takut kalau di rumah sendirian."

Laras terdiam bahkan dia tak bisa membayangkan kalau acara sintren yang bakal digelar sore ini akan batal.

"Untuk kali ini ibu mohon, jangan tinggalkan ibu ya, Nduk?"

Laras menghela napas panjang lalu melangkah ke tepi tempat tidur.

Dengan perasaan yang tak menentu dia menggenggam tangan ibunya lalu mengangguk.

"Maafkan ibu ya, Nduk?"

"Tidak, Bu. Demi Ibu, Laras sudah memutuskan untuk tak pergi."

"Apakah yang Ibu rasakan kini, Bu?"

"Entah, Nduk. Hari ketiga, ibu masih tak habis pikir. Bahkan sakit di kaki tak ibu rasakan. Cuma seluruh sendi ibu seperti mati rasa. Tak bisa digerakkan, Nduk."

"Pakde Jenggot menawarkan seorang kiai. Setelah acara bubar rencananya Laras akan dibawa ke rumahnya untuk mengobati Ibu."

"Aku harap mereka tak kecewa karena Laras tak datang pada pagelaran sintren kali ini, Bu. Laras harap Pakde Jenggot tak menarik ucapannya."

"Kang Jenggot itu orang baik. Bila dia sudah berucap demikian besar kemungkinan dia akan membuktikannya, Nduk. Ibu hanya berharap ada orang pintar atau kiai yang bisa mengobati lumpuh ibu. Tidak menjadi kembang amben seperti ini."

"Ibu semakin yakin kalau ini adalah kiriman."

"Lalu siapa yang tega melakukan ini? Kita salah apa dengannya, Bu!"

"Entah, Nduk."

"Apa mungkin ini perbuatan bapak!"

"Jangan asal bicara kamu. Ibu tahu bagaimana bapakmu itu. Meski hanya bapak sambungan, tidak mungkin dia akan mencelakakan kita."

"Lalu siapa, Bu? Siapa!"

"Atau kita pindah saja dari rumah ini!" tambah Laras.

"Jangan mengambil keputusan sendiri. Kita tunggu sampai bapakmu pulang."

"Sampai kapan, Bu. Setiap malam Laras hampir mati ketakutan. Laras sering melihat sosok hitam di rumah ini, Bu!"

Sukesih menghembuskan napas panjang, memandang langit-langit kamar.

"Pekerjaan Laras sebagai penari bisa hancur kalau terus begini, Bu. Laras bisa digantikan oleh orang lain di paguyuban itu."

Sukesih menoleh ke arah Laras.

"Apa ini yang mereka harapkan agar Laras tak lagi bisa main sintren, Bu!"

"Semoga apa yang ibu alami tidak ada kaitannnya dengan dirimu, Nduk?"

"Iya, Bu. Ya, kalau begini terus dan Ibu tak kunjung sembuh akan berpengaruh terhadap Laras."

"Maafkan ibu, Nduk."

****

Hari berganti.

Pagelaran telah dimulai. 

Turangga Puspa Bangsa sedang tampil atas permintaan salah satu warga yang menanggapnya, dan itu tanpa Laras.

Delapan Jatilan masih terus menari mengikuti gamelan yang dimainkan para Wiyaga. Menggunakan kaca mata hitam dengan mengepit kuda anyam.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang