KEDATANGAN SUARA GAGAK

410 33 1
                                    

Terengah-engah Laras berhenti di depan pintu. 

Sejenak dia menoleh ke arah kiri di mana dia datang dengan berlari. Cahaya lampu kamarnya masih nyala padam, itu terlihat dari pintu yang tidak dia tutup.

Kembali dia menoleh ke arah ibunya. Masih tenang, seakan tak terganggu oleh suara apa pun, termasuk petir yang menyambar keras beberapa kali tadi.

Laras menoleh ke belakang. Sebuah pintu yang menghubungkan dapur. Dari tempatnya berdiri tak dilihatnya sebuah gelas di atas meja makan, menegaskan apa yang dia kira, itu salah.

"Bu?" Lirih dia memanggil ibunya.

Laras bagai tak bisa berkedip saat terlihat ada kepulan asap yang seakan turun dari jumantara kamar menyelimuti tubuh ibunya.

Selangkah Laras mundur. Menjauh dari ambang pintu.

Kepulan asap perlahan tipis memisah menjadi tiga bagian. Laras masih bisa menyaksikan itu dan sang ibu masih tenang dalam lelap. Kepulan asap perlahan samar dan hilang ke sisi kiri bagian kaki sang ibu.

"Akh!" Laras terpekik seketika.

Mata sang ibu mendadak membelalak. 

"Akh!"

"Akh!"

Otot wajahnya bak ditarik kencang seperti merasakan sakit yang teramat.

Lekat menatap Laras seakan ada yang ingin disampaikan, tetapi tubuhnya tak mengejang, mulutnya terbuka, dan tak bersuara.

Lama Laras ditatap sang ibu dengan mata mendelik. Semakin membuat dirinya tak tahu harus berbuat apa.

"Apa yang ingin Ibu katakan! Kenapa Ibu begitu, Bu! Jangan menakuti Laras, Bu!" teriaknya dalam hati.

Laras mendekap dada. Kengerian dari sikap sang ibu hadir semakin membuat kakinya terpaku.

"Aku ... aku." Suara Sukesih seakan ingin mengatakan sesuatu.

"Bu?"

Terenyuh Laras. Perlahan dia melangkah menuju tempat tidur saat mendengar ibunya berkata tak jelas.

"Ibu?"

Laras mencoba duduk di tepi tempat tidur, meraih tangan sang ibu, membawanya dalam dekap dada.

"Ibu, kenapa? Apa yang Ibu, inginkan?"

"Ibu, haus? Ibu, mau Laras ambilkan minum?"

Sukesih mengangguk.

Perlahan Laras meletakkan kembali tangan ke dada sang ibu dan beranjak menuju pintu.

Bahkan Laras tak sempat memperhatikan kalau tangan sang ibu terkulai lemas, jatuh menjuntai ke tepi tempat tidur.

Di luar hujan mulai reda meski masih terdengar rintik. Angin tak lagi berembus kencang seperti penanda hujan datang tadi, tetapi justru dingin makin terasa mencocok kulit.

Cur.

Suara air mengisi gelas.

Keadaan di dapur memang lebih remang dari pada suasana kamar. Titik air jatuh dari genting bak gending kematian begitu terdengar menakutkan.

Bergegas Laras meninggalkan dapur. Entah kenapa dia begitu takut untuk berlama-lama di ruangan itu terlebih bila dia mengingat kali pertama dia menggunakan bilik kamar mandi.

Sesampainya kembali ke kamar.

"Ini, Bu."

Laras hanya berdiri dengan segelas air minum berharap sang ibu bangkit menerimanya.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang