MBAH TULU

263 25 2
                                    

Kepada Mbah Tulu, Laras mengadu.

Laras menangis tersedu di hadapan Mbah Tulu, orang yang selama ini sudah dia anggap seperti orang tuanya sendiri.

"Aku semakin tak mengerti apa yang menimpa kalian."

"Kalau mendengar ceritamu tadi, apakah ada hubungannya dengan kegagalan sintren kala itu?"

Tampak pula Kang Jenggot duduk di samping Mbah Tulu.

"Berkali-kali aku meminta pindah saja, tetapi ibu masih tidak mau."

"Lalu apa yang bisa kami bantu, Nduk?"

"Semalam ibuku terus batuk-batuk dan mengeluarkan darah. Sekarang dia sedang sakit. Aku sudah meminta izin untuk ke sini untuk membawa Mbah Tulu ke sana. Tolong Laras, Mbah."

Mbah Tulu hanya bisa menatap Kang Jenggot.

"Bapak pernah melontarkan tuduhan ...."

Mbah Tulu dan Kang Jenggot masih menunggunya.

"Menuduh kalau itu semua adalah perbuatan Mbah Tulu. Maafkan Laras, Mbah."

Tak ada tanggapan geram, bahkan raut Mbah Tulu masih dingin memandang Laras yang duduk tertunduk.

"Untuk apa? Kami tak pernah sibuk dengan urusan orang lain, apalagi sampai menyakitimu, Nduk? Untuk apa?"

Semakin dalam Laras menunduk. Dia ingin mencari sumber asal petaka selama ini. Ingin sekali dia bertanya ihwal persaingan paguyuban seperti tuduhan bapaknya, tetapi urung.

"Atau mungkin bisa jadi kamu, ibumu, atau bapakmu itu yang membuat salah satu orang di kampung ini sakit hati."

"Coba kamu ingat-ingat kembali," timpal Kang Jenggot.

Laras tak bersuara. Dia bahkan tak berani menatap mata keduanya.

"Ya, sudah. Sekarang apa yang bisa kami bantu untukmu, Nduk?"

"Laras sangat khawatir akan kondisi ibu."

"Baiklah. Kami akan ke sana bersamamu." Kang Jenggot menoleh ke arah Mbah Tulu dan dia mengangguk setuju.

****

Kini mereka sudah ada di rumah Laras.

"Yuk, apa yang kamu rasakan?" Ketiganya berdiri di sisi tempat tidur. Laras duduk di tepi, memegang tangan, diusap sudut mata ibunya.

Sukesih masih lelap tertidur.

****

Sementara di luar.

Enam orang kepercayaan Mbah Tulu berdiri dan terlibat obrolan setelah tadi juga melihat keadaan Sukesih.

"Kamu tadi mencium bau mayat tidak?" bisik Barmin ke telinga Sarwoto.

"Aku tidak mencium bau itu. Aku mencium bau rebusan ... rebusan singkong kukus. Ya, tetapi lama-lama aku jadi teringat kata orang tua-tua dulu kalau itu ciri khas bau dari jubah genderuwo."

"Ya. Iya, aku jadi teringat itu. Aku juga pernah menciumnya. Aku pikir ada orang yang merebus singkong, tetapi aku pikir mana ada orang merebus singkong di tengah hutan. Keadaan waktu itu mendekati surup."

"Satu hal, pantang kita menyebut namanya."

"Kenapa?"

"Itu sama saja kita memanggilnya saat kita mencium bau jubah genderuwo kita dilarang untuk menyebutnya.."

"Bukan, bukan jubah. Dulu kata pamanku, itu ciri bau dari bulu-bulu kasar genderuwo," sangkal Sarwoto.

"Namun, wajar kalau rumah ini begitu terlihat menyeramkan."

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang