Tung! Tung! Tak.
Tung! Tak.
Teng. Tak.
Ting.
Ting.
Ting.
Bunyi gamelan berpadu antara bonang dan saron. Di antara ketuk yang dipukul terdengar pula suara demung mengentak seakan memberi aba-aba dalam tiap gerak sentak tari.
Akan tetapi, tidak dengan roda kayu yang terus berputar menggilas berbatuan kecil meski suara gamelan masih jelas terdengar.
Seorang perempuan berkebaya kerawangan merah duduk di sisi kiri dalam gerobak pedati, sementara satu lelaki mengenakan caping terus mengendalikan laju dua sapi yang akan membawa mereka ke sebuah tujuan.
"Kenapa kamu diam saja, Laras?"
Perempuan muda bergaris wajah tirus itu tetap tak menarik tatap dari lembar-lembar daun jati. Teduh naung mereka lewati. Tak terdengar pula dia menjawab pertanyaan ibunya.
"Kamu masih marah dengan bapakmu?"
Perempuan berkebaya kerawangan itu diam, menatap lurus jalan yang mulai menurun.
"Tidak. Laras tidak marah sama bapak. Laras hanya kesal kalau terus dipaksa untuk ikut gabung dengan paguyuban jaranan milik bapak."
"Bapakmu tidak memaksa, Laras. Hanya bermaksud agar kamu tetap dalam pengawasannya."
"Laras sudah besar, Bu? Untuk apa bapak terus mengawasiku."
"Jaga ucapanmu, Laras!"
Tajam perempuan baya memandang anaknya.
"Sebentar lagi kita sampai." Satu ucap lelaki mengenakan caping seakan ingin melerai untuk tak lagi diteruskan ucapan yang mulai meninggi tersebut.
Sejenak tubuh mereka terguncang saat roda kayu mulai berbelok ke kanan.
Teduh naung perkebunan jati berganti terik matahari menerpa menyambut mereka.
Hanjuang kemerahan berdiri bak menjadi pagar rumah semi permanen yang bercat putih, ditambah beberapa tumbuhan puring dengan lembar daun beraneka warna.
Roda kayu berhenti tepat di halaman rumah. Segera lelaki itu turun.
Bergegas dia membantu dua penumpangnya menjejaki tanah rumah baru mereka.
"Ini rumahnya, Bu." Lelaki itu menunjuk menggunakan jempol kanan dalam cakap jari yang tergenggam.
"Sekalian ya, Mas. Saya minta tolong untuk dibawa masuk."
"Iya, Bu." Segera memutar badan menuju belakang gerobak.
Gelap, pengap, gambaran pertama yang tertangkap oleh keduanya saat masih berdiri di sisi halaman.
"Yakin bapak menyuruh kita tinggal di sini, Bu?"
"Mau bagaimana lagi. Sudah, ayo!"
Mereka melangkah menuju pintu.
Suasana rumah yang memang terlihat berdebu menegaskan kalau tempat ini sudah lama sekali tak ditinggali.
Laras menoleh ke belakang. Masih, lelaki itu terlihat menurunkan beberapa tas serta buntalan jarit besar berisi pakaian, bawaan mereka tadi.
****
Rumah ini bisa dibilang sejuk. Halaman luas di kedua sisi. Hanya saja terlihat sedikit menyeramkan dan itu tak lain adalah letaknya yang terpencil dengan deretan hutan kecil yang ada di belakang rumah menambah lengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
Korku𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...