PEPOYOK

394 25 8
                                    

KAWIR POV

Rumah ini kini terasa sepi. Tak ada lagi suara yang biasa aku dengar begitu manja serta tangan mengelus.

Aku hanya bisa diam di sisi tempat tidur. Saat-saat sepi begini biasanya aku akan membayangkan wajah orang yang aku cintai. Ibu telah meninggalkanku, mati dengan perut pecah.

Aku bangkit dan sejenak meraih sesuatu dari bawah tikar tempat tidurku.

Benda yang sengaja aku simpan. Dengan begitu, aku akan membawanya masuk ke alam khayal hingga aku puas mencumbu, memeluk, serta merebahkannya di atas tempat tidurku. Ya, aku hanya bisa melakukan itu.

Aku tak pernah mencucinya. Sengaja aku simpan aroma itu untuk jiwaku sendiri, jiwa yang selalu berontak membuncah kala dia menuntut lalu berakhir dengan tubuhku mengejang, lemas, terkulai puas saat lendir syahwat itu keluar.

Aku mencurinya. Ya, mencurinya. Sebab aku tahu rasa yang aku pendam tak akan pernah sampai kepada Laras.

Segera aku melempar kain tipis itu ke lantai, menginjak-injaknya berkali-kali.

Duk! Duk! Duk! Duk!

Kuambil kembali kain itu. Ini kain satu-satunya yang aku simpan.

Kain lainnya sudah aku bawa saat menemui dukun itu beserta selembar foto yang aku ambil dari dompetnya.

Seorang dukun yang menurutku sangat lihai dalam memainkan peran hingga semua orang menganggapnya dukun yang baik. Padahal tak beda dengan dukun yang selalu mengharap imbal uang berkedok mahar. Dia adalah Mbah Gundal. Orang-orang menyebutnya begitu.

Ujung tanganku pernah dia iris dengan keris dan membuat air dalam wadah itu seketika berubah merah. Ya, itu aku.

Aku datang menghadap Mbah Gundal dengan semua cerita, dengan semua kekecewaanku.

Dengan semua uang yang aku buntal dalam kain waktu itu. Uang yang aku kumpulkan dari kecil, uang pemberian mendiang ibu yang bernama Kati.

Aku masih ingat malam itu, sewaktu duduk bersila di hadapan Mbah Gundal. Itu kedatanganku yang kedua ke rumahnya.

****

"Awakmu wes roh resikone!" (Kamu sudah tahu risikonya!), kata Mbah Gundal yang duduk bersila.

Aku hanya mengangguk pelan.

"He!" Dia berkata kepadaku.

Dia juga mengenakan ikat kepala hitam. Sejenak mengulurkan tangan. Terlihat meminta sesuatu yang pernah aku sanggupi.

Aroma kemenyan menyeruak santer sedari tadi. Asap putih yang terus mengepul dari anglo kecil membumbung ke jumantara ruangan kecil itu. Aku bisa dengan jelas melihatnya.

Pakaian serba hitam sedikit kumal. Sedari tadi duduk bersila menghadap meja kecil nan sesak oleh beraneka macam sajen ritual semakin menegaskan kalau Mbah Gundal adalah dukun hebat. Aku yakin dia bisa membantuku.

Segera dia menerima sesuatu yang aku keluarkan dari balik bajuku.

"He he he," kekehnya seraya menerima selembar kain yang aku berikan dan itu adalah celana dalam milik Laras.

Lalu diciumnya kain tersebut. Hidung besarnya seakan-akan bisa menangkap aroma serta wujud dari balik benda yang aku berikan tadi.

"He!" Lagi, dia memanggilku begitu padahal aku ada di hadapannya.

Dia mengulurkan tangan. Kali ini dia menatap lekat kepadaku yang masih duduk bersila.

Berbagai jenis bunga sajen menghiasi meja. Paling pinggir sebuah tempayan kecil dari tanah liat tampak hitam memantulkan cahaya keperakan dari lampu minyak yang tergantung di atas kepala kami.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang