Tok! Tok! Tok!
Krek.
"Nur, sendirian kamu, Nduk?"
"Iya, Bu. Laras ada, Bu?"
"Ada. Kamu langsung saja ke kamarnya, ya."
Dengan diantar Sukesih, Nuraini menuju kamar Laras.
"Ibu ini heran dengan Laras. Dari kemarin dia hanya berdiam diri di kamar. Tidak makan, tidak mau mandi."
"Biasa toh, Bu? Namanya juga perempuan. Mungkin sedang hilang selera akibat kedatangan tamu bulanan."
Mereka lalu berhenti di ambang pintu.
"Nduk, ini ada Nur?"
Di tepi tempat tidur, Laras yang sedari tadi memandang jendela menoleh dengan perlahan.
"Kamu bicara langsung dengannya, ya. Ibu masih ada sedikit yang harus dikerjakan," kata Sukesih, beralasan.
Nuraini mengangguk, tersenyum saat Sukesih berlalu dari sampingnya.
"Ras?" Nuraini sudah berdiri di samping Laras.
Laras masih diam. Rambutnya tergerai menutupi sisi kiri wajah.
"Aku disuruh Mbah Tulu untuk mengantarkan ini." Nuraini menyodorkan sejumlah uang, bagian sebagai Paripurna.
"Ras, kamu tidak kenapa-kenapa toh?"
Laras menggeleng perlahan, dua kali.
"Ini. Mbah Tulu juga menyampaikan permohonan maaf, dia tidak bisa mengantar langsung. Ini ambillah."
"Taruh di meja," kata Laras dingin.
Nuraini mengikuti, meletakkan sejumlah uang di meja.
"Kamu kenapa toh, Ras."
Laras menatap lurus arah jendela.
"Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Lusa kita akan kembali tampil. Aku harap sebagai Paripurna, kamu dalam keadaan baik-baik saja."
Nuraini menoleh ke arah Laras setelah satu jurus dia memandang arah yang sama.
"Kamu tidak sakit, 'kan?"
Laras menggeleng.
"Kamu kenapa toh, Ras? Dari tadi diam saja."
Laras mendongak. Gerai rambutnya separuh menutupi wajah. Matanya tajam menatap sahabatnya, itu terlihat dari sela rambut.
"Ras?"
Nuraini mengamati wajah sahabatnya, menyibak rambut yang menutupi lalu menyelipkan di antara telinga.
Laras kembali menatap lurus ke jendela, menyisakan Nuraini yang memandangnya dengan dahi berkerut.
Ada leleh air mata turun dari sudut mata Laras.
"Kamu kenapa? Cerita, ya?" bujuk Nuraini.
Laras kembali menatap Nuraini. Dua sudut matanya bahkan terlihat menitikkan air mata.
"Tidak biasanya kamu seperti ini? Jangan buat saya cemas, Ras. Ada apa?" Nuraini mengusap air mata yang masih hangat itu.
****
Setelah sekian lama di kamar, Nur pun pamit.
"Hati-hati di jalan ya, Nduk."
Nuraini mengangguk dengan senyum lalu melangkah meninggalkan depan pintu.
Empat langkah dia berjalan menoleh ke belakang dan pintu sudah tertutup, tak lagi terlihat ibu sahabatnya.
Wajah Nuraini tak lagi ceria seperti sewaktu kedatangannya, terlihat murung bercampur sedih. Dia mulai melangkah kembali. Cerita Laras di kamar tadi menjadi penyebabnya. Cerita besar yang juga berpengaruh akan tugasnya menjadi Cantrik.
![](https://img.wattpad.com/cover/312425393-288-k283871.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨
Horror𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟭 𝗗𝗔𝗙𝗧𝗔𝗥 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗘𝗞 𝗪𝗔𝗧𝗧𝗬𝗦 𝟮𝟬𝟮𝟯 𝗔𝗺𝗯𝗮𝘀𝘀𝗮𝗱𝗼𝗿'𝘀 𝗣𝗶𝗰𝗸 𝟮𝟬𝟮𝟰 "Aku hanya khawatir akan kelangsungan sintren kita. Tanpa Laras, Turangga Puspa Bangsa tak ada bedanya dengan p...