PERTUMPAHAN DARAH

317 23 3
                                    

Halaman luas milik sebuah rumah besar dengan tiang-tiang penyangga berukir sisik ular tanpa kepala. Sebuah simbol magis dan spiritual mengkilap diterpa pendar lampu yang tergantung di bawah teras.

Tak seperti dulu di mana halaman ini akan ramai oleh para Jatilan dan para Cantrik yang melakukan terenen menjelang hari perhelatan. Kini tampak lengang. Sebuah gayor terlihat tergeletak di sisi kanan rumah.

Seorang lelaki berpakaian pangsi duduk menghadap sebuah meja kecil. Dua buah pecut melingkar dengan gagang kayu mahoni.

Dari mulutnya terus mengepulkan asap di bawah siram lampu redup keperakan.

"Apakah ini tanda akhir dari Turangga Puspa Bangsa? Tanpa sintren, sulit bagiku menarik ratusan pasang mata untuk tetap tertuju pada paguyuban ini."

"Kematian Laras seakan menjadi firasat buruk untuk Turangga Puspa Bangsa."

"Sintren adalah daya tarik paguyuban ini. Kini telah padam dengan kematianmu, Nduk." Berkali-kali dia berbicara dalam hati.

Dihembuskan kembali asap dari mulutnya ke udara. Keretek dari jepit jari masih menyala bara.

"Tulu, keluar kamu!"

Mendengar namanya disebut dia menoleh ke arah samping lalu bergegas membuka jendela.

Sarmento sudah berdiri di halaman dengan kaki terbuka. Kedua tangan berkacak di pinggang.

"Keluar sekarang! Aku ingin membuat perhitungan denganmu!"

"Apa seperti itu cara bertamu ke rumah seseorang," balas Mbah Tulu lalu pergi dari jendela.

Pintu depan terbuka.

Krek.

"Bila ada maksud dan tujuan yang ingin kita bicarakan, secangkir kopi hangat mungkin bisa mengusir dingin udara di halaman. Masuklah."

"Tidak usah banyak omong kamu, Tulu!"

"Danyang mana yang telah membuatmu naik darah, ha?" Mbah Tulu melangkah menuju halaman.

"Cuh! Hentikan basa-basimu!"

"Sarmento, Sarmento Wira Guna. Watakmu masih saja tak pernah berubah," ucap Mbah Tulu seraya tersenyum dan menggeleng kepala.

Dengan bersedekap, Mbah Tulu berdiri dua langkah di hadapan Sarmento.

"Kedatanganku akan menuntut balas atas kematian mereka!"

Mbah Tulu mengernyitkan dahi. Membalas ucapan itu dengan tatap tajam.

"Aku tak mengerti maksud perkataanmu? Mereka siapa."

"Asu buntung! Tidak usah terlihat bodoh di hadapanku! Lawan aku secara ksatria!"

"Tunggu! Tunggu dulu!" cegah Mbah Tulu.

Namun, terlambat. Sarmento yang sudah meradang menyerangnya dengan satu pukulan, menjurus tepat ke wajahnya.

"Hap!"

Mbah Tulu berkelit ke samping. Pukulan Sarmento hanya mengenai ruang kosong.

"Bedebah!" teriak Sarmento semakin murka merasa dilecehkan oleh gerak tipu Mbah Tulu yang ternyata menyapu kakinya dengan gerakkan sedikit condong ke samping.

Bruk!

Alhasil Sarmento jatuh berguling dua kali.

"Tahan! Tahan!" seru Mbah Tulu. Sepertinya dia tak mau meladeni amarah Sarmento.

"Bila amarahmu kembali menyala akibat masa lalu! Aku bersedia untuk meminta maaf untuk sekian kali kepadamu!"

Sarmento membuang ludah. 

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang