BAYANGAN HITAM

528 31 1
                                    

Klik!

Ruangan mendadak terang oleh lampu yang tergantung di atas.

Laras hanya bisa duduk memandang ibunya. Ditatap bagian mata kaki yang kini mulai bengkak kebiruan.

Napas Sukesih begitu tenang, menaikkan dada naik turun dalam baring. Sejak sore tadi dia tidur dan Laras tak berniat sedikit pun membangunkannya.

Urung Laras pergi setelah sang ibu terus meminta dirinya tetap tinggal di rumah. Meski berat dan ingin sekali dia menolak, tetapi melihat ibunya terus mengeluhkan kaki yang seperti dipelintir. Sehari ini dia hanya bisa keluar masuk kamar sang ibu.

Sandekkulah baru saja berlalu menyisakan jejak gelap. Semesta mulai pekat.

"Kenapa banyak sekali kejanggalan hari ini. Sosok itu, ibu, dan ah, aneh. Kenapa semua datang secara kebetulan." Batinnya kembali bergulat.

Laras bangkit, dia melangkah menuju jendela, menarik tirai tipis.

Kembali dia menoleh ke arah ibunya, masih tenang dalam lelap, mungkin itu yang dibutuhkan Laras setelah kerap dibuat panik oleh erang Sukesih akibat sakit di kakinya.

Mata Laras seakan tak bisa berkedip saat dia kembali menoleh ke arah jendela. Samar dia melihat sosok yang berdiri di bawah pohon pancit. Ya, pohon yang persis ada di depan kamar, lurus dari jendela.

Sosok itu diam tak bergeming seakan dari tadi memandangi Laras yang juga memandangnya.

Jantung Laras berdetak dua kali lebih cepat. Segera dia membalikkan badan memunggungi jendela.

"Sosok apa itu!"

Keletuk! 

Keletak! 

Keletuk!

Duk!

Duk!

Duk!

Kembali jantung Laras dipaksa untuk terus berdetak cepat. Jelas tadi dia mendengar seperti benda yang dibenturkan ke lantai, juga derap langkah, terbayang menjangkah pelan.

Keletuk!

Seperti sebatang kayu yang dipukulkan ke lantai.

Duk! Duk!

"Siapa di sana!"

Mata Laras terus lekat ke arah pintu kamar yang terbuka, tak terlihat bayangan seseorang dalam pendar lampu di luar kamar.

Hening.

Laras seakan tak berani bergerak.

Keletak!

Keletuk!

Kembali terdengar.

"Siapa!"

Dalam teriak panggil, bibirnya mulai bergetar takut.

Dia melirik. Dalam posisi bersedekap, sang ibu terlihat masih lelap.

Kembali hening.

Laras melangkah.

Selangkah demi selangkah.

Separuh wajah, dia mencoba mencari tahu dari balik sisi pintu.

Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat ruangan lurus bak koridor yang menyatu dengan depan pintu kamarnya di ujung. Sepuluh detak jantung terhitung dia memandang dan tak ada siapa-siapa.

"Apakah ada orang lain di rumah ini?" batinnya berbarengan dengan langkah yang tertahan saat sempat dia memutuskan untuk keluar kamar. Terbesit ruangan tamu yang ada di tengah-tengah, ruangan yang memisahkan kamarnya dengan kamar sang ibu.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang