PANTANGAN PARIPURNA

283 26 6
                                    

"Wajahmu terlihat pucat," kata perias yang juga Kawih, terus merapikan pupur di pipi.

Enam Jatilan sudah masuk tanpa lagi memegang kuda kepang tanda acara sintren bakal dihelat tak lama lagi.

Gorden pintu tersibak. "Bagaimana? Sudah siap?" tanya Kang Jenggot.

Sang perias mengangguk.

Di sisi lain, bukan hanya Paripurna saja yang dirias, para Cantrik pun sibuk merias diri dan pinggang-pinggang mereka sudah terikat sampur.

Riuh penonton di luar menambah suasana semakin semarak.

"Laras!" Terdengar satu suara memanggil Paripurna untuk segera keluar. Sayup obrol berakhir tawa juga terdengar.

Kerumunan penonton belum membentuk sebuah pagar melingkar. Di bawah pepohonan mereka berkumpul meski matahari sudah condong sedari tadi.

Sintren, pungkas acara ciri khas Paguyuban Turangga Puspa Bangsa setelah setengah hari lebih mereka menampilkan sendratari magis jaranan.

Para Wiyaga juga telah berganti pakaian, mengenakan pangsi hitam lengkap dengan udeng.

Dua Sinyo Gambuh yang tak lain adalah Karui dan Tradi sibuk menyiapkan beberapa peralatan yang diperlukan. Tambang, siwalan, juga sebilah golok sudah siap. Di sisi depan pintu sebuah kurungan besar terlihat.

Dua Kawih datang saat gamelan sudah mulai dimainkan. Puluhan pasang mata mulai menyaksikannya.

Tak lama kemudian satu Kawih lainnya muncul dan bergabung.

"Tambak tambak pawon."

(Dapur dinyalakan).

"Isie dandang kukusan."

(Isinya dandang kukusan).

"Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul."

(Kalau ada asap penontonnya semua kumpul).

Para Kawih terus melantunkan tembang. Bak sebuah mantra, semakin sesak kerumunan penonton. Di antara yang berjubel satu penonton setia sintren menerobos ke depan. Wajahnya yang dihiasi satu mata rusak tampak tersenyum. Entah dari mana datangnya sebab selama jaranan berlangsung tadi dia tak terlihat.

"A as," gumamnya, Kawir di antara riuh suara orang di sekeliling.

Tembang Tambak terus mengalun diiringi perpaduan Lodang.

Semua peralatan sudah lengkap di atas meja. Ada selembar jarit sebagai alas menggantikan taplak.

****

Sementara itu, di dalam kamar ganti.

Nuraini terus memperhatikan Laras yang duduk menghadap kaca.

"Kamu baik-baik saja, Ras?"

Laras mengangguk diakhiri senyum.

Nuraini memegang dada, senyumnya mengembang seraya mendongak cepat.

"Lega rasanya. Aku selalu memikirkanmu terus."

Laras bangkit lalu duduk di samping Nuraini.

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Mari kita nikmati hari ini."

"Aku sebenarnya takut," tuturnya.

Laras tertunduk.

"Apakah hari ini akan menjadi akhir bagiku di paguyuban ini."

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang