MALAPETAKA

311 28 0
                                    

"Biar Padlan yang mengantar pulang, Nduk?"

"Tidak usah, Pakde. Biar saya pulang bareng Nuraini saja."

"Namun, hari sudah gelap. Apa kamu berani pulang?"

"Banyak yang searah jalan. Ada Nur juga Ningsih," jawab Laras.

Nuraini keluar dari dalam dengan tas kecil berisi pakaian ganti.

"Yuk, Ras! Apa masih ada yang kamu tunggu?" ajak Nuraini.

Para Cantrik dan juga Laras berpamitan meninggalkan Kang Jenggot dan Mbah Tulu yang masih berdiri di halaman.

Serentak semua meninggalkan halaman, menyisakan dua orang yang berdiri mengantar mereka dengan tatap bangga.

"Aku bahkan tak tahu harus bagaimana bila tak ada mereka," tutur Mbah Tulu seraya terus memandang mereka hingga di ujung halaman.

"Mereka adalah harta bagi Turangga Puspa Bangsa tanpa bermaksud mengecilkan para Jatilan." Mbah Tulu berbalik badan, melangkah diikuti Kang Jenggot.

Para Wiyaga sudah selesai mengumpulkan peralatan sebab esok pagi semua harus diangkut pulang.

****

Di perjalanan pulang.

Malam masih hangat oleh sisa terik yang melekat di dedaunan. 

Kepulan asap dari daun kering dibakar menandakan mereka masih melewati jalan kampung. Cahaya-cahaya rumah menambah jalanan sedikit terang.

"Yakin tidak mau mampir dulu?" tawar Ningsih ketika sudah sampai di sisi pagar halaman.

"Terima kasih, Sih. Sepertinya tubuhku sudah sangat lelah. Kami akan meneruskan perjalanan saja."

"Ya, sudah kalau begitu. Hati-hati, ya?"

Laras dan Nur mengangguk, mengantar Ningsih melangkah menuju pintu yang terbuka. Tampak satu lelaki menyambutnya.

"Penonton setiamu tadi menonton loh, Ras?"

"Siapa?"

"Ha ha ha. Siapa lagi. Kawir."

Laras melangkah meninggalkan Nuraini yang mencoba meledek dirinya.

"Apa kamu tidak kasihan melihatnya begitu?"

"Tidak," jawab Laras pendek.

"Sebenarnya kasihan juga melihatnya."

"Ya, kamu jadikan pacar saja." Giliran Laras yang meledek.

"Ih, ngomongnya kok begitu."

"Ya, kalau kamu kasihan." Laras dengan wajah lelah.

"Dia itu hitungannya masih Kang Mas. Kalian bersaudara. Jangan begitu, ih. Tidak baik membenci."

"Bisa kita bahas yang lain? Aku malas kalau membicarakan Kawir."

"Terus membicarakan apa?" tanya Nuraini.

"Membicarakan sintren? Itu sudah tak terbantahkan kalau kamu memang Paripurna terbaik di kampung ini," imbuhnya.

"Gerakan tadi sungguh luar biasa, Ras."

"Bukan aku," potong Laras.

"Aku jadi penasaran. Setampan apa Raden Sulandana itu, ya." Nuraini menoleh Laras.

"Bukan ketampanan Sulandana, tetapi lebih ke perjalanan cinta mereka. Masih banyak bahkan di zaman sekarang kisah seperti itu," beber laras.

"Sulandana adalah putra terhormat Mataram. Anak seorang Bupati bernama Baureksa."

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang