PUPUS LAYU

267 26 1
                                    

Surup sudah menjelma. 

Mbah Tulu masih berdiri di belakang Laras. Sejenak pintu terbuka setelah Laras memanggil ibunya.

Krek.

"Masuk!" Kepada Laras. Sarmento yang menyambut kedatangan mereka.

"Untuk apa kamu ke sini. Mau pamer kepadaku! Iya!"

Dihardik macam itu, Mbah Tulu hanya membalasnya dengan senyum.

"Aku hanya mengantar pulang anakmu. Salah?"

"Tumben," balas Sarmento bersedekap.

"Masuk!" pinta Sarmento kedua kali kepada Laras.

"Mbah Tulu hanya mengantar Laras, Pak."

"Masuk!" bentak Sarmento.

"Ini terakhir aku mengantarnya pulang. Selebihnya mungkin Laras sendiri yang bisa menceritakan." Mbah Tulu langsung berlalu dari depan pintu.

****

Sepeninggal Mbah Tulu.

"Kamu tidak makan dulu, Nduk?"

"Nanti saja, Bu. Laras ingin ke kamar dulu."

Sukesih hanya memandang suaminya ketika Laras langsung menuju kamar.

"Ini terakhir aku mengantarnya pulang. Selebihnya mungkin Laras sendiri yang bisa menceritakan." Terngiang ucapan Mbah Tulu, Sarmento segera menyusul Laras.

Laras hanya duduk terperuk di tepi tempat tidur. Dia bahkan tak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita. Jiwanya terasa hampa kini.

"Lenggokkan badanmu," kata Sukesih yang mengenakan kebaya dengan mengegol pinggul.

Itu awal kali Laras belajar menari. Bukan sebagai Paripurna, tetapi Jatilan meski terlihat kaku.

"Rentangkan begini. Kibas sampurmu," tambah Kang Jenggot yang juga melatih Laras.

"Namaku Nuraini." Juga kali pertama perkenalan mereka.

"Bu, Ibu!"

"Ada apa, Nduk!"

"Ini!" Dengan semringah Laras menunjukkan hasil bayaran pertama menjadi sintren.

Secuil ingatan masa lalu hadir seiring luka menganga. Laras bahkan harus berpisah dengan mereka di mana suka duka telah tercipta.

"Apa yang terjadi." Suara Sarmento mengagetkan Laras, secepat mungkin dia menyeka air matanya.

"Tidak ada, Pak. Laras baik-baik saja."

"Jangan bohong! Pemilik paguyuban mengantarmu pulang. Itu adalah sebuah tanda telah terjadi sesuatu. Katakan."

"Haruskah aku menceritakan ini semua," batin Laras.

"Sebuah perpisahan." Sarmento duduk di samping Laras.

"Bapak bukan memarahimu. Kamu sudah menjadi tanggung jawabku. Kamu adalah anak bapak kini."

Laras tertunduk.

"Dia mengantarmu, Nduk. Sesama pemilik paguyuban itu adalah penyerahan, menyerahkanmu untuk ..."

Laras segera memeluk Sarmento. Lagi, isaknya terdengar. "Hu hu hu."

Dengan lembut Sarmento memeluk rambut Laras.

"Pelaku budaya akan selalu merajutnya menjadikan perhiasan jiwa. Satu tangan menyambut saat kamu memasukinya, juga sebaliknya, jelas ada aturan yang menolak, dan mengantarmu kembali."

"Cerita. Ceritakan sama bapak apa yang sebenarnya terjadi." Terdengar lembut di telinga Laras.

"Laras ... Laras sudah tak lagi ...."

Sarmento masih menunggu, diam seraya memeluk dalam. Dia tahu ini adalah sebuah petanda.

"Laras tak lagi menjadi Paripurna, Pak."

"Apa!" Sukesih muncul.

"Apa yang terjadi, Nduk. Katakan! Apakah mereka sudah mencarikan pengganti buatmu."

Laras mengangkat wajah dari dekap Sarmento.

"Laras gagal, Bu."

"Gagal bagaimana!"

"Pantangan itu." Laras mengusap mata. Ada ragu dan takut terbersit.

Hening.

Sepi.

Sukesih dan Sarmento saling duga.

"Laras, oh. Hu hu hu." Kontan lemas tubuh Sukesih.

Segera Laras mengambur ke arah Sukesih yang berdiri lalu memeluk kaki ibunya.

Sukesih segera mengangkat bahu Laras. "Siapa yang melakukannya."

Laras menggeleng lalu menceritakan apa yang terjadi.

"Kamu yakin?"

"Bahkan Laras gagal, Bu. Laras gagal di dalam kurungan."

"Oh." Sukesih lalu memeluk Laras, membenamkan wajah sang anak. Sebisa mungkin dia tak menitikkan air mata meski hatinya menjerit pilu.

Brak!

Satu gebrak meja. Sarmento yang ikut geram berdiri dengan tangan bergetar. Kepal tangan menghasilkan otot penuh murka.

"Katakan siapa pelakunya!"

Laras kembali menegaskan bahwa dia hanya ingat dua hal, sebuah pukulan dan baju yang koyak.

"Bajingan!"

"Tulu harus bertanggung jawab atas apa yang menimpamu!"

"Ampun, Pak. Mbah Tulu sungguh tak tahu kalau ini terjadi," ucap Laras masih dengan isak.

"Bagaimana bisa dia lalai dalam menjaga permatanya!" geram Sarmento membuncah.

"Sudah, sudah! Semua sudah terjadi dan tak mungkin kembali."

"Siapa saja yang tahu peristiwa ini?" imbuh Sukesih.

Laras menggeleng. "Nuraini, Mbah Tulu, dan Pakde Jenggot."

"Namun, ini bukan jaranan, Sukesih. Kegagalan sintren itu nyata. Semua penonton akan beranggapan kalau kesucian itu sudah direnggut! Mereka semua tahu itu, Sukesih!" bantah Sarmento.

"Seberapa banyak orang tahu akan sintren! Tidak semua kegagalan sintren disebabkan oleh pecahnya perawan!" tangkis Sukesih.

"Walaupun benar, tidak semua orang tahu. Biar ini menjadi rahasia kita, menjadi rahasia paguyuban," sambung Sukesih.

"Semua yang terjadi tak akan dikenali." Sukesih melangkah dan terduduk lemas di atas tempat tidur.

"Andai saja kamu tahu pelakunya, akan bapak seret dia sepanjang jalan kampung!"

"Terus bagaimana ini, Kang Mas?"

Hening.

Semua terdiam.

Sunyi menyergap seketika.

"Aku akan buat perhitungan dengan Tulu!"

"Jangan, Mas. Jangan! Dia tak tahu menahu perkara ini."

"Dia harus bertanggung jawab dan menemukan siapa pelakunya, Sukesih!"

"Masalah akan berkepanjangan, Mas. Bagaimanapun dia adalah ...."

"Aku tak pernah mengakuinya!" bantah Sarmento.

"Tutup semua cerita. Jangan libatkan siapa-siapa! Bahkan kita tak tahu siapa yang berbuat kepada Laras. Biarkan ini menjadi rahasia keluarga kita." Sukesih beranjak.

𝗣𝗔𝗧𝗜 𝗣𝗜𝗧𝗨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang